Buku

Pelembagaan Dan Konsolidasi Tata Kelola Sawit Lestari Dalam Kerangka Kebijakan Pembangunan Desa

Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan RI yang tegas melarang kapal asing menangkap ikan, apalagi mencuri ikan di perairan nusantara memiliki potensi kuat mendongkrak kepercayaan diri nelayan Indonesia menjadi tuan di negerinya sendiri. Secara statistik kebijakan tersebut berdampak apik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan nilai tukar nelayan. Pada tahun 2015, sektor perikanan mampu berkontribusi sebesar 8,96 persen. Nilai tukar petani yang pada tahun 2014 hanya 102, pada awal 2016 lalu menjadi 110.

Suasana batin yang menggembirakan tersebut sepertinya tak di dapati di sektor pertanian dan perkebunan. Khususnya sub sektor perkebunan sawit. Kontribusi sub sektor perkebunan sawit terhadap devisa non migas tergolong tinggi karena ditopang oleh nilai ekspor yang tinggi pula. Bahkan angkanya lebih tinggi dari sektor migas yaitu mencapai US$19,04 miliar berbanding US$12 miliar. Tapi meningkatnya nilai ekspor dan devisa negara dari sub sektor perkebunan tersebut tidak dibarengi dengan membaiknya kesejahteraan petaninya. Hal tersebut dapat diketahui dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang lebih rendah dari NTP di sektor perikanan di atas. NTP di sektor pertanian dan perkebunan pada tahun 2016 ada pada posisi 101,47, turun o,8 dari tahun sebelumnya.

Ketimpangan antara capaian ekonomi makro di sub sektor perkebunan dengan tingkat kesejahteraan petani tersebut berkait dengan lemahnya keberpihakan kebijakan tata kelola sawit pada petani sawit baik yang diselenggarakan pemerintah maupun sektor privat. Berkaca pada kebijakan Menteri Kelautan di atas, pengelolaan kebijakan ekonomi di sektor sawit seharusnya bisa menekan laju praktik peminggiran petani sawit dan desa. Tidak lagi jadi rahasia kalau ekspansi sawit yang dilakukan banyak pihak telah merubah wajah dan muka sosial ekologis desa. Hubungan kebudayaan masyarakat dengan alam menjadi lebih eksploitatif. Desa, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat desa tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi pemerintah desa hanya tersibukkan oleh fungsi administrative birokratis, sehingga tidak memiliki kedaulatan untuk melingkari kedaulatan desanya dengan menyelenggarakan program pembangunan yang pro terhadap kesejahteraan petani dan keberlanjutan lingkungan. Di sisi yang lain masyarakat, tepatnya petani sawit terlalu asyik dengan usaha perkebunan sawit, walaupun dalam struktur dan rantai ekonomi sawit, kedudukan mereka tetap berada di bawah kuasa pemodal, sehingga kerugian acap kali mereka terima. Pada akhirnya pemerintah dan petani tak pernah bisa menyatu dalam hal perspektif maupun kepentingan membangun desa bersawit yang ramah lingkungan dan kesejahteraan desa.

Pada titik inilah kiranya konsolidasi dan pelembagaan desa bersawit lestari ke dalam bingkai perencanaan pembangunan desa perlu diupayakan oleh desa dan difasilitasi oleh pemerintah supradesa. Kenapa supradesa juga perlu berpartisipasi dan ikut cawe‐cawe dalam rangka mewujudkan desa bersawit lestari, karena aktor ekonomi yang sekarang berhadapan bahkan kadang bersandingan tapi tidak bisa menyatu memiliki modal yang lebih besar dari desa. Bahkan saking kuatnya kadang mampu mengakali pemerintah sehingga kedaulatan desa tergadaikan. Position paper ini bermaksud menyampaikan kepada pemangku kepentingan tentang arti pentingnya mendorong para pihak yang bermain dalam lingkungan bisnis sawit mau mereform modeling dalam pengembangan sawit agar lebih berdesa, bukan a desa atau anti desa, tapi menghisap sumber daya desa. Semoga para pihak yang beririsan dengan diskursus tersebut berkenan segera melakukan tindakan‐tindakan kebijakan yang nyata agar desa berdaulat secara ekonomi sehingga memiliki daya tawar yang setara dengan pelaku usaha sawit baik dari kelompok non state actor maupun state actor.

 

Download
Categories

Perkembangan Harga TBS

Berita Harga TBS

Agenda

Agenda Lainnya

Link Terkait

Cerita Petani
Selengkapnya