Pada 2013, aktor Hollywood Harrison Ford sempat ‘menyemprot’ Menteri Kehutanan era Kabinet Indonesia Bersatu II Zulkifli Hasan, lantaran menganggap pemerintah kurang serius dalam menangani kerusakan hutan Indonesia.
Kedatangan si Indiana Jones saat itu adalah dalam rangka pembuatan film Years of Living Dangerously yang menyoroti dampak perubahan iklim di Riau, yang –menurut pandangan si pembuat film— salah satunya diakibatkan perambahan hutan atau deforestasi untuk dijadikan lahan kebun kelapa sawit.
Lebih dari 5 tahun berlalu, Indonesia rupanya masih harus berupaya keras membersihkan citra perkebunan kelapa sawitnya dari aroma deforestasi serta menunjukkan upaya pengelolaan kawasan hutan yang memperhatikan konsep kelestarian.
Baca Juga : Perbaiki Tata Kelola Sawit Sebelum Gugat Uni Eropa ke WTO
Terbaru, Uni Eropa berencana memangkas penggunaan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai campuran biodiesel secara bertahap pada 2019—2023, dan dihapus total mulai 2030. Pasalnya, Komisi UE menilai bahwa CPO bukan produk ramah lingkungan karena menyebabkan kerusakan lahan. Keputusan ini membuat Indonesia selaku produsen minyak nabati itu meradang dan berencana membawa masalah tersebut ke sidang organisasi perdagangan dunia (WTO).
Tak hanya itu, Uni Eropa rupanya juga membawa tudingan deforestasi hutan tropis ke sidang Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Environment Assembly/UNEA) ke-4 di Nairobi, Kenya lewat draft resolusi berjudul Deforestation and Agricultural Commodity Supply Chains.
Kendati pada akhir sidang Uni Eropa menarik kembali resolusi tersebut dan berencana merevisi isinya menjadi lebih berfokus pada pengelolaan hutan secara berkelanjutan, hal itu menunjukkan bahwa tata kelola perkebunan serta kawasan hutan Indonesia memang masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim bahwa Indonesia sejatinya sudah banyak melakukan perbaikan dan mengeluarkan regulasi yang cukup maksimal untuk mengatasi deforesfasi.
Laksmi Dhewanti, Staf Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional KLHK, menjelaskan bahwa dengan melihat kondisi saat ini di mana areal kawasan hutan sudah semakin berkurang, tanggung jawab untuk memelihara hutan menjadi perhatian bagi negara-negara yang masih memiliki areal hutan, salah satunya Indonesia.
Dia melanjutkan, dalam pengelolaan hutan sesuai dengan tanggung jawab Indonesia, pemerintah telah melakukan banyak program agar menjaga hutan tetap lestari.
“Contohnya, kita tidak hanya menebang pohon tapi kita melakukan penebangan dengan sistem yang sudah direncanakan. Lalu kita juga sudah membuat tata kelola dan peruntukan hutan, ada hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi,” tuturnya.
Dia menambahkan, pemerintah juga sudah membatasi izin perkebunan kelapa sawit demi menjaga kelestarian kawasan hutan Indonesia.
“Mereka [Uni Eropa] mungkin bertanya, ‘ini kenapa [Indonesia] nebang hutan untuk kelapa sawit?’ sebenarnya sama pertanyaannya, ‘kenapa dulu mereka menebang hutan untuk nanam bunga matahari? kenapa dia dulu tebang hutan untuk tanam kedelai?’ Jadi, kita tahu pasti ada dampaknya, ada negatifnya, tapi itu juga harus dilihat secara berimbang,” kata Laksmi kepada Bisnis, Kamis, (21/3).
Laksmi mengatakan guna mengurasi dampak yang ditimbulkan dari produksi kelapa sawit. Pemerintah Indonesia sudah mengambil beberapa langkah dan menetapkan berbagai regulas seperti rencana mandatori sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) hingga evaluasi izin perkebunan kelapa sawit.
Selain itu untuk melindungi lahan gambut dari perluasan perkebunan kelapa sawit, pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 57/2016 tentang perubahan atas PP Nomor 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Kemudian, pemerintah juga telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit khususnya sawit rakyat dengan program Penanaman kembali sawit rakyat dan tata kelola kebun sawit rakyat.
TATA KELOLA
Di sisi lain, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menilai masih ada pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh pemerintah terkait dengan tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Dia menilai pemerintah tidak pernah bereaksi atas dinamika yang terjadi di level petani kelapa sawit. Misalnya, kurang lebih 30% petani swadaya indonesia menjual tandan buah segarnya ke tengkulak dengan harga lebih rendah dari ketetapan tim penetapan harga. Hal ini tidak pernah ditata dan diperhatikan.
“Selain itu, pembangunan kelembagaan petani. Tidak ada pembinaan dan tidak ada upaya untuk membuat koperasi itu beralih teknologi. Legalitas dan petani yang ada dalam kawasan hutan pun belum ada sikap dan tindakan konkrit,” katanya.
Poin lain adalah tumpang tindih kawasan, karena sebagian lahan petani masuk dalam konsesi Hak Guna Usaha (HGU). Belum lagi yang terkait dengan resolusi konflik antara petani dan perusahaan akibat skema kemitraan yang tidak adil.
Mansuetus menegaskan ada atau tidaknya hambatan perdagangan dari Eropa, harapan petani adalah pemerintah memperbaiki tata kelola khususnya petani kecil.
Mansuetus menyatakan perbaikan tata kelola harus jadi fokus utama. Pasalnya itu yang kerap dijadikan senjata untuk hambatan dagang.
“Jangan lagi ada izin baru, karena kita akan menghadapi over produksi. Kalau over produksi harapannya adalah pasar dalam negeri dan itu sangat terbatas. Risikonya [ditanggung] petani kelapa sawit, sementara industri masing masing selamatkan diri karena berebut pasar,” katanya.
Dia pun meminta supaya pemerintah mendorong petani rakyat untuk terlibat dalam proyek B20 dan B30 sebagai pemasok untuk kebutuhan energi tersebut, sehingga tidak terjadi monopoli industri.
Di sisi lain, dia pun meminta agar sebaiknya Uni Eropa membela petani sawit yang tidak melakukan deforestasi dan mampu memproteksi hutan sesuai high carbon stocks dan high conservation value. Menurutnya harus ada hubungan baik antara pasar Eropa dan petani yang menihilkan deforestasi.
“Bagi pemerintah, ada atau tidaknya keputusan Uni Eropa, perbaikan dalam negeri harus lebih baik dan dilakukan serta inpres moratorium itu dilakukan,” pungkasnya.
Pemerintah memang harus segera menyelesaikan pekerjaan rumahnya di sektor kelapa sawit dan deforestasi ini. Pasalnya, sampai saat ini, kontribusi CPO terhadap pemasukan negara masih cukup besar. Di sisi lain, menghentikan deforestasi sebagai langkah mitigasi perubahan iklim jelas tak bisa lagi diabaikan.
Sumber : https://ekonomi.bisnis.com/