BANGKOK – Pada 10 November 2024, Koperasi Makmur Barokah Belutu resmi menerima sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi berkelanjutan ini diserahkan langsung CEO RSPO, Joseph D’Cruz kepada Ketua Koperasi Makmur Barokah Belutu, Asmungi, dalam sebuah acara di Bangkok, Thailand.
Berlokasi di Desa Belutu dan Desa Pencing Bekulo, Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, koperasi ini terdiri atas 161 petani dengan total luas lahan 315 hektare. Menurut Asmungi, proses untuk mendapatkan sertifikasi ini memakan waktu sekitar 18 bulan, meliputi pemetaan kebun anggota, pelatihan petani, pengurusan izin SDTB dan SPPL, serta audit oleh lembaga sertifikasi.
“Kami mengupayakan sertifikasi RSPO karena memahami bahwa dengan sertifikasi ini, pengelolaan kebun anggota akan mengikuti standar sawit berkelanjutan dan Good Agricultural Practice (GAP). Hal ini membuat pengelolaan kebun anggota lebih teratur sesuai SOP koperasi, sehingga produktivitas kebun meningkat,” jelas Asmungi dalam keterangannya kepada InfoSAWIT, Rabu (27/11/2024).
Sejalan dengan upaya pemerintah mempercepat praktik sawit berkelanjutan, koperasi ini juga tengah bersiap untuk sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Sertifikasi ISPO wajib bagi petani sesuai peraturan yang berlaku. Kami berharap ada dukungan pendanaan dari pemerintah, termasuk dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS), serta pendampingan dari pemerintah daerah,” tambah Asmungi.
Ia optimistis, dengan sertifikasi RSPO dan ISPO, koperasi dapat meraih akses pasar yang lebih luas dan dukungan program pemerintah, terutama terkait sarana dan prasarana dari BPDPKS, Dirjen Perkebunan, serta dana DBH Sawit.
Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mengungkapkan komitmen petani swadaya terhadap praktik berkelanjutan. Saat ini, 12 koperasi di bawah SPKS dengan total 2.800 petani dan luas lahan 4.500 hektare telah memperoleh sertifikasi RSPO dan ISPO.
“Ini menunjukkan bahwa petani sawit memiliki komitmen kuat untuk memproduksi sawit berkelanjutan sesuai tuntutan pasar global,” ujar Sabarudin.
Ia menegaskan bahwa pandangan yang menganggap petani sawit tidak mampu memenuhi standar keberlanjutan global sudah tidak relevan. Bahkan, petani turut melakukan konservasi hutan, seperti perlindungan hutan di sekitar kebun di Kalimantan Barat.
Namun, ia juga mengakui bahwa biaya untuk memenuhi standar keberlanjutan sangat tinggi. Dukungan dari perusahaan besar, termasuk anggota RSPO, masih minim meskipun mereka meraih keuntungan besar dari industri sawit nasional.
“Dukungan pemerintah juga belum maksimal. Kami berharap adanya perhatian lebih dari perusahaan dan pemerintah agar semakin banyak petani yang mengelola sawit sesuai standar pasar global,” tegas Sabarudin. (T2)