SPKS SPKS: Isu Akses Pendanaan ISPO Bagi Petani Sawit Swadaya Butuh Solusi>
Nasional

SPKS: Isu Akses Pendanaan ISPO Bagi Petani Sawit Swadaya Butuh Solusi

JAKARTA – Sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) saat ini dianggap belum mampu menjawab tantangan di tingkat petani kelapa sawit khususnya untuk petani yang belum berkelompok yang berjumlah sangat besar sekitar 70% dari total 6,9 juta ha luas kebun petani.

Sebab itu Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai, bahwa untuk menyelesaikan ini adalah kelembagaan di tingkat wilayah seperti pemerintah daerah. Pemda yang memiliki akses untuk mengelola dana bagi hasil serta dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), memiliki akses ke pemerintah pusat dan memiliki infrastruktur birokrasi dan politik yang lengkapi dianggap memiliki kecocokan untuk menggerakkan sertifikasi ISPO di tingkat petani kecil. Dengan pendekatan kewilayahan/ pendekatan Yurisdiksi akan menghasilkan jumlah petani yang lebih besar.  

Diakui atau tidak, pelaksanaan sertifikasi saat ini masih sangat rumit untuk petani kecil yang tersebar di 16.500 desa di Indonesia. Seperti, pembangunan kelompok terlebih dahulu di masing-masing desa, pendataan, pelatihan, pendampingan, pengurusan legalitas kebun serta kelembagaan dan sosialisasi. Ini proses yang sangat Panjang dan rumit. Peraturan harus menyederhanakan ini, akomodir pendekatan sertifikasi skala besar dengan pendekatan kewilayahan agar petani mudah mendapatkan sertifikasi ISPO.

Sebagai organisasi petani berupaya terus melakukan pengorganisasian kelompok petani swadaya dan melakukan pelatihan praktik budidaya terbaik dan berkelanjutan. Selanjutnya, SPKS juga mendorong kolaborasi multi pihak, termasuk Pemerintah, LSM, perusahaan perkebunan, petani dan masyarakat puas bekerjasama melakukan prinsip dan kriteria berkelanjutan ISPO melalui pendekatan yurisdiksi.

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, mengungkapkan pentingnya memperluas akses pendanaan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) bagi petani kelapa sawit. Menurutnya, akses tersebut tidak seharusnya dibatasi hanya untuk pekebun, melainkan juga perlu diberikan kepada organisasi seperti SPKS yang memiliki polygon atau kemitraan kelompok tani. Sabarudin menyoroti hal ini dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan SPKS pada Rabu (3/4/2024) di Jakarta.

Lebih lanjut, Sabarudin menyampaikan bahwa SPKS memiliki sebanyak 20 ribu anggota petani sawit yang tersebar di 15 Kabupaten. Namun, sayangnya, para petani tersebut mengalami kendala saat hendak melakukan sertifikasi ISPO karena terkendala oleh masalah pembiayaan. Mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan proses sertifikasi ISPO.

“Sayangnya pemerintah tidak memperhatikan masalah pendanaan ini, terutama ketika petani tersebar di berbagai lokasi seperti yang terjadi di Kabupaten Sanggau, dimana ada 1000 petani yang ingin menerapkan ISPO,” ujar Sabarudin.

Petani di Sanggau sudah memiliki pemetaan, Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan semua persyaratan lain yang dibutuhkan untuk sertifikasi. Sabarudin menyebutkan bahwa sudah ada 12 Koperasi yang siap untuk menerapkan ISPO dan mereka telah memenuhi semua persyaratan administratif, namun terkendala oleh pendanaan.

Dengan demikian, memperluas akses pendanaan ISPO menjadi penting untuk memastikan bahwa petani kelapa sawit, termasuk yang tergabung dalam organisasi seperti SPKS, dapat dengan mudah mengakses proses sertifikasi tersebut tanpa terkendala oleh masalah keuangan. Hal ini tidak hanya akan membantu meningkatkan keberlanjutan industri kelapa sawit, tetapi juga mendukung upaya Indonesia dalam mempromosikan produk kelapa sawit yang berkelanjutan secara global.

Sumber :

Perkembangan Harga TBS

Berita Harga TBS

Agenda

Agenda Lainnya

Link Terkait

Cerita Petani
Selengkapnya