KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) merespon terbitnya Instruksi Presiden nomor 8 tahun 2018. Terdapat sejumlah bagian yang mereka setujui terutama pada aspek legalitas dan redistribusi. Namun, meminta ketegasan selama masa moratorium 3 tahun ini berlangsung.
Mansuetus Darto Ketua SPKS dalam rilis yang Kontan terima menjelaskan, secara keseluruhan, SPKS menyetujui terbitnya moratorium tersebut karena mempertimbangkan kebutuhan petani. Sejumlah poin yang disampaikan adalah sebagai berikut.
Pertama, produksi sawit Indonesia sudah berlebih, akibatnya pelabuhan Indonesia dipenuhi pengiriman minyak kelapa sawit (CPO). Maka langkah pemerintah yang membuat aturan perluasan B20 sudah benar karena berpotensi angkat harga TBS petani. Harga ini dalam keadaan rendah karena banyak TBS rakyat tidak dibeli atau tertampung pabrik.
Kedua, SPKS menyetujui karena menilai harus ada penyelesaian terkait dengan legalitas petani dalam kawasan hutan. Karena banyak petani yang perlu dibebaskan dari kawasan hutan. Tetapi secara spesifik, pemerintah perlu membuat indikator petani sawit yang perlu di bebaskan.
Ketiga, aturan 20 % lahan dari HGU agar bisa di serahkan kepada masyarakat adalah sesuatu yang SPKS respon sangat baik agar ada redistribusi dari HGU untuk masyarakat. Ini juga sebagai salah satu solusi untuk selesaikan ketimpangan.
Keempat, terkait rendahnya produktivitas petani selama ini. Inpres ini menjadi solusi agar seluruh pihak termasuk perusahaan atau pabrik yang tidak memiliki kebun, untuk membangun kemitraan yang adil dengan petani swadaya yang selama ini tidak diperhatikan, tidak dilatih pertanian yang baik dan lebih banyak diserahkan ke tengkulak untuk membeli TBS (tandan buah sawit) petani kecil.
“Sehingga akibatnya, petani dapat harga rendah karena menjual ke tengkulak,” terangnya, Jumat (21/9).
Kemudian selama moratorium ini 3 tahun ini SPKS meminta secara spesifik sejumlah hal, yakni:
1. Legalitas lahan petani diselesaikan.
2. Konflik sosial diselesaikan.
3. Petani kecil harus di data.
4. Tata kelola berkelanjutan dengan melakukan revitalisasi kelembagaan petani.
5. Membangun kerjasama yang baik dan adil antara petani kecil dan pabrik sawit.
6. Audit perijinan yang bermasalah.
7. Harga antara petani plasma dan mandiri harus sama.
8. Percepat penyelesaian standar ISPO yang kredible dan bertanggung jawab.
“Itu adalah catatan kunci moratorium dan kami meminta agar selama Peran BPDP (Badan pengelola dana perkebunan) sangat penting untuk mendukung inisiatif pembangunan tata kelola berkelanjutan,” terangnya.