Indonesia menyadari pentingnya kelapa sawit bagi perekonomiannya serta kesejahteraan rakyat, serta semakin besarnya peran para petani. Itu sebabnya para petani makin giat berusaha memperbaiki produktivitas serta keberlanjutan perkebunan mereka, termasuk melalui kemitraan dengan perusahaan, swasta, maupun BUMN.
Namun, Serikat Petani Kelapa Sawit (KSPS) mengingatkan bahwa ada faktor-faktor yang perlu dipenuhi bila kemitraan tersebut dapat secara efektif mencapai hasil yang diinginkan, dengan produktivitas yang lebih baik serta penggunaan praktek berkebun yang berkelanjutan.
“Menurut saya, kemitraan itu penting antara pabrik/perusahaan dengan petani,” ujar Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Tetapi ia juga dengan cepat menambahkan bahwa kemitraan yang ada pada saat ini, “belum mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan banyaknya konflik yang terjadi.”
Kelompok petani–yang masing-masing mengelola perkebunan di bawah 50 hektare–menguasai sekitar 40 persen dari total perkebunan kelapa sawith Indonesia. Beberapa penelitian memerkirakan bahwa dalam jangka waktu sekitar 12 tahun, proporsi ini akan naik menjadi sekitar 60 persen, atau mayoritas.
Seraya meningkatkan produktivitas para petani sawit melalui bantuan penanaman kembali kebun mereka dengan bibit unggul, pemerintah mengimbau mereka untuk bermitra dengan pabrik atau perusahaan kelapa sawit di sekitarnya. Tujuannya untuk mendorong produktivitas dan menjamin praktik keberlanjutan tingkat dasar dalam pengelolaan kebun, sehingga produk mereka dapat diterima oleh pasar dunia.
Pentingnya kemitraan ini juga tercermin di dalam tema yang diambil Konperensi Kelapa Sawit Indonesia 2017 (Indonesia Palm Oil Conference/IPOC 2017) yang akan dibuka di Bali pada tanggal 1 November ini, yaitu “Pertumbuhan Melalui Produktivitas: Kemitraan dengan Smallholders.”
Kemitraan, produktivitas dan keberlanjutan
Pemerintah dengan dana terbatas sedang mencoba meningkatkan produktivitas smallholders. Caranya, pemerintah membantu peremajaan kebun kelapa sawit rakyat yang tua atau tidak produktif, dan membagikan bibit unggul. Pemerintah juga meminta sektor swasta dan BUMN untuk memberikan bimbingan dan bantuan kepada petani agar dapat meningkatkan produktivitas serta bercocok tanam dengan cara yang berkelanjutan.
Sejauh ini kemitraan antara perusahaan dan petani sawit kebanyakan dalam bentuk skema perkebunan inti atau plasma, yang untuk pertama kalinya diterapkan di sektor kelapa sawit di awal tahun 1980-an. Darto mengatakan bahwa jenis kemitraan ini tidak menguntungkan para petani, yang pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai aspek legalitas dalam kontrak yang mereka tanda tangani.
“Perlu ada pendamping, khususnya terkait dengan isi kontrak, agar petani memahami isi perjanjian tersebut,” kata Darto melalui jawaban tertulis kepada The Palm Scribe.
SPKS, yang kini memiliki anggota sekitar 56.000 petani di enam provinsi penghasil kelapa sawit utama, beranggapan bahwa ada beberapa standar yang harus diakui dan dijalankan dalam kemitraan, apa pun yang terjadi antara petani dan perusahaan.
Darto mengatakan bahwa dalam sebuah kemitraan, para petaninya tidak boleh dipaksakan untuk bermitra atau untuk terlibat dalam kemitraan. Perusahaan harus menghargai prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free Prior and Informed Consent).
“Jangan sampai, dengan alasan peningkatan produktivitas petani, skema apa pun selalu dilakukan dengan cara paksa. Cara atau metode berbisnis dengan petani harus adil. Kalau tidak, Anda akan gagal,” katanya.
Partisipasi petani dalam penentuan kemitraan juga sama pentingnya, terutama bila menyangkut kredit bagi petani. “Partisipasi petani penting. Khususnya besaran kredit jika pilihannya adalah kredit. Maka hitungan besaran kredit, harus mengakomodasi partisipasi petani. Agar, hingga liang kubur mereka tidak menanggung kredit,” imbuhnya.
“Akuntabilitas dan transparansi perusahaan harus dijunjung tinggi. Tanggung jawab harus jelas. Perusahaan yang telah menggunakan kredit petani untuk membangun kebun plasma petani harus dipertanggungjawabkan dan perlu diaudit,” kata Darto.
Bila perlu, auditor independen, seperti Badan Pemeriksa Keuangan atau KPK, harus dapat memantau, karena beberapa dana kemitraan ini berasal dari negara, seperti halnya dari dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP Sawit).
Darto menyatakan bahwa dalam pemberian lahan untuk berkebun, kemitraan harus juga “memenuhi rasa adil dan gender. Yang mendapat plasma harus betul-betul yang miskin dan memenuhi aspek gender.” Ia mengatakan bahwa banyak dari buruh tani sawit yang tidak memiliki tanah adalah perempuan.
“Selama ini, pengadaan kebun plasma kadang-kadang bersifat politis. Pejabat atau birokrat pun cenderung dapat. Yang miskin atau masyarakat sekitar perusahaan tidak mendapat,” ujarnya.
Di lain pihak, para petani pun harus menyumbang kepada kemitraan yang mereka masuki. Mereka harus dapat berorganisasi sendiri untuk dapat bermitra.
“Sebaiknya dalam tata kelola perkebunan yang baik, khususnya kemitraan antara petani dan perusahaan, petani harus memiliki kelembagaannya lebih khusus bagi petani swadaya/mandiri. Kelembagaan memiliki fungsi khusus untuk memandu petani-petani nya secara kolektif untuk mendukung pengelolaan secara berkelanjutan dan peningkatan produktivitas,” Darto mengatakan.
Bagi petani yang tidak terikat kontrak dengan perusahaan kelapa sawit, kelembagaan petani akan dapat membantu mereka mendapatkan akses kepada bibit unggul dan beberapa kebutuhan perkemunan lainnya, serta kepada kredit dan pasar.
Bagi Darto, jenis kemitraan yang paling mendesak bagi petani adalah dalam konteks pembiayaan, asalkan dana yang dikucurkan langsung diterima petani. Ia mengatakan bahwa walaupun ada banyak pendanaan untuk petani,mereka lebih sering menawarkan skema yang tidak menguntungkan bagi petani.
“Ada skema pendanaan saat ini tetapi pola kemitraannya adalah manajemen satu atap. Apa itu satu atap? Pola ini mengkooptasi kebun-kebun rakyat dan kelola secara full oleh perusahaan. Petani tidak punya hak penguasaan dan pengelolaan. Petani juga akan menjadi buruh di atas tanahnya,” kata Darto.
Sumber : https://thepalmscribe.id/news-in-indonesian/2017/10/26/serikat-petani-kelapa-sawit-menjabarkan-prasyarat-kemitraan-petani-dan-perusahaan