JAKARTA – Kebijakan pemerintah dalam program biodiesel dinilai masih terkesan reaktif dan kurang memperhitungkan dampak negatif. Terutama terhadap kerugian petani kelapa sawit di dalam negeri.
Belum lama ini (8/9), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berencana menaikkan pungutan ekspor CPO sebesar US$5 tiap kenaikan US$25 per tonnya.
Menanggapi hal itu, Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Amukti mengatakan, semestinya pemerintah mengevaluasi program biodiesel secara menyeluruh. Apalagi kaitannya dengan sentimen masa pandemi dan ancaman resesi ekonomi.
Ia memprediksi, negara perlu mengeluarkan insentif yang lebih besar, apabila pemerintah tetap berencana untuk menaikkan bauran biodiesel. Padahal, pemerintah seharusnya mengambil langkah mundur ke B20 dalam situasi ekonomi seperti ini.
"Apalagi, sampai saat ini belum ada manfaat langsung yang diterima petani sawit swadaya dari program biodiesel,” katanya dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (11/9).
Pemerintah Indonesia kini gencar dalam menjalankan program biodiesel. Tingkat bauran minyak kelapa sawit atau CPO pun terus ditingkatkan dari B20 sampai B30. Bahkan, kini mengejar target menjadi B40 hingga B50.
Namun, ia menilai, pengembangan program biodiesel di dalam negeri belum jelas arahnya karena ketiadaan pemerintah memiliki rencana utuh atau roadmap. Saat ini, pengeluaran terbesar BPDPKS adalah untuk insentif biodiesel atau membayar selisih harga CPO dan solar ke perusahaan kelapa sawit.
Pada 2019, setidaknya dana sebesar Rp29,2 triliun dari total Rp33,6 triliun dana BPDPKS hanya dialokasikan untuk insentif biodiesel. Sementara, petani hanya menerima manfaat minimal dari jumlah tersebut.
Padahal, sebelumnya, petani selalu digadang akan mendapat manfaat dari program biodiesel pemerintah. Ini terlihat dari tidak adanya direktorat tertentu dalam tubuh BPDPKS yang mengurus petani swadaya.
"Kontribusi petani terhadap komoditas kelapa sawit tidaklah sedikit," ujarnya.
Berdasarkan data Dirjen Perkebunan Kementan, petani swadaya memasok 34% dari total produksi sawit nasional. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit atau SPKS Mansuetus Darto mempertanyakan ketergesa-gesaan pemerintah menambah bauran biodesel, padahal belum terlihat menguntungkan.
"Bahkan biodiesel yang sekarang pun belum menguntungkan buat petani," ujarnya.
Darto menuntut pemerintah untuk mengevaluasi kinerja BPDPKS dalam yang sudah berdiri selama lima tahun.
"Termasuk evaluasi masalah penyaluran dananya yang mayoritas justru lari ke perusahaan kelapa sawit dan tak berdampak pada kesejahteraan petani maupun rakyat,” katanya.
Darto juga menjelaskan bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan pungutan ekspor melalui BPDPKS juga merupakan langkah gegabah. Kenaikan pungutan ekspor dapat berdampak langsung pada penurunan harga tandan buah segar atau TBS kelapa sawit. Jadi, petani akan kembali lagi menjadi pihak yang paling tertekan.
“Setidaknya, pemerintah perlu memastikan agar perusahaan kelapa sawit wajib membeli sebagian TBS-nya dari pekebun mandiri supaya program biodiesel bisa menciptakan pasar bagi pekebun,” tegasnya.
Sumber : validnews.id