Pengantar
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan memberikan ruang pembiayaan usaha perkebunan sebagaimana disebutkan dalam pasal 93 melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan hasil penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan.
Tindak lanjut dari skema pembiayaan di atas diuraikan melalui pemberian amanat kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendorong dan memfasilitasi terbentuknya lembaga keuangan perkebunan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik usaha perkebunan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini mencapai 11,3 juta Ha yang dikuasai oleh perusahaan besar negara sebesar 6,63 persen, perusahaan besar swasta sebesar 52,88 persen, dan petani sawit kecil (plasma maupun swadaya) sebesar 40,49 persen.
Pada tahun 2016 produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) mencapai 32 juta ton. Meskipun jumlah produksi tersebut terhitung mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 32,5 juta ton, tetapi jumlah yang diekspor justru lebih besar yaitu mencapai angka 27 juta ton. Jika dibandingkan dengan tahun 2008 sebagaimana dalam tabel 1 di bawah, terjadi pertumbuhan sangat signifikan yaitu meliputi pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit sebesar 67 persen, pertumbuhan jumlah ekspor 79 persen, dan pertumbuhan hasil yang diperoleh dari kegiatan ekspor sebesar 19 persen.
Tabel 1 – Perkembangan Produksi CPO di Indonesia 2008-2016
Sumber: Kementerian Pertanian
Ketidakpatuhan dan Kekurangan Penerimaan Negara
Pemerintah mengatur kegiatan perkebunan kelapa sawit untuk berkontribusi terhadap pembangunan melalui skema penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Jenis perpajakan yang harus dibayar oleh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit meliputi Pajak Penghasilan (PPh) Pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Badan, dan Pajak Ekspor.
Berdasarkan luasan dan jumlah produksi minyak sawit mentah, pemerintah menghitung potensi pajak yang seharusnya dihasilkan adalah mencapai Rp45 triliun – Rp50 triliun per/tahun. Namun realitasnya, pada tahun 2015 pajak yang diterima oleh pemerintah hanya mencapai Rp22,2 triliun atau hanya mencapai 44,4 persen dari potensi sesungguhnya. Dari sisi nominal pemerintah mengalami kerugian akibat hilangnya penerimaan sebesar Rp27,8 triliun pada tahun yang sama.
Hal itu diakibatkan oleh rendahnya kepatuhan wajib pajak badan yang hanya mencapai 9,6 persen. Dari 70.918 wajib pajak badan yang bekerja pada kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit, hanya 6.808 wajib pajak badan yang melaporkan SPT. Artinya masih terdapat 64.110 atau sama dengan 90,4 persen wajib pajak badan tidak memenuhi kewajiban tahunan yang telah diatur peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, sumber penerimaan pajak dari kegiatan usaha perkebunan sawit yang dibagi hasilkan kepada pemerintah daerah hanya terdiri dari PPh Pribadi dan PBB dengan rasio rata-rata 11 persen per/tahun (Climate Policy Initiative: 2014). Sehingga kecilnya insentif fiskal yang diterima pemerintah daerah tersebut sangat mempengaruhi orientasi kebijakan sektor perkebunan yang tidak memiliki keberpihakan terhadap kegiatan perkebunan sawit secara umum, dan khususnya bagi petani sawit skala kecil.
Diagram 1 – Rasio bagi hasil pajak usaha perkebunan sawit ke daerah
Sumber: Factsheet CPI: 2014
Selain dari kecilnya insentif melalui bagi hasil perpajakan usaha perkebunan kelapa sawit, ruang gerak pemerintah daerah untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tersebut juga sangat terbatas. Berdasarkan hasil analisis pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2017, hanya terdapat lima sumber yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan sertifikasi, sewa gedung/ruangan, pajak alat berat dan kendaraan, dan sumbangan suka rela.
Polemik Penggunaan Dana Hasil Pungutan Sawit
Sebagai tindak lanjut dari UU No. 39 tahun 2014 tentang perkebunan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2015 tentang penghimpunan dana perkebunan. Dalam PP tersebut pemerintah mengatur tentang tata cara penghimpunan, tata cara penggunaan, dan badan pengelola dana.
Operasionalisasi penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit diatur dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2015. Sedangkan tarif layanan badan layanan umum badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 114/PMK.05/2015. Dalam PMK tersebut pemerintah mengatur tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya dengan rincian mencapai 24 jenis layanan.
Sebagai salah satu kebijakan penerimaan negara bukan pajak yang strategis, pemerintah menguraikan target penerimaan dana hasil pungutan perkebunan kelapa sawit tersebut dalam Nota Keuangan APBN sejak tahun 2016. Berdasarkan analisis antara realisasi dan potensi yang diperoleh, kinerja badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit (BPDP-KS) masih jauh dari potensi yang ada.
- Kinerja Rendah Penghimpunan Dana Pungutan Sawit
Pada tahun 2016 pemerintah telah berpotensi mengalami kerugian atas kekurangan penerimaan sebesar Rp5,6 triliun akibat dari realisasi dana pungutan kelapa sawit yang berhasil dihimpun hanya mencapai Rp11,7. Padahal berdasarkan potensi jumlah minyak kelapa sawit yang diekspor pada tahun 2015 sebesar 26,4 juta ton, seharusnya pemerintah dapat menerima kurang Rp17,16 triliun pada tahun 2016.
Potensi kehilangan penerimaan sebesar Rp6,89 triliun juga masih terjadi pada tahun 2017. Hal itu disebabkan oleh rendahnya target yang ditetapkan pemerintah atas jumlah pungutan kelapa sawit hanya sebesar Rp10,66 triliun, padahal potensi yang seharusnya dapat dikumpulkan adalah mencapai Rp17,55 triliun atas data dasar jumlah ekspor minyak sawit tahun 2016 sebesar 27 juta ton.
Tabel 2 – Estimasi hasil pungutan kelapa sawit 2016-2017
- Ketidakadilan Penggunaan Dana Hasil Pungutan Sawit
Penggunaan dana yang dihimpun dari usaha perkebunan kelapa sawit telah ditetapkan dalam pasal 93 ayat (4) yaitu meliputi pengembangan sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana perkebunan.
Akan tetapi pemerintah menambahkan klausul bahwa penggunaan dana tersebut dapat untuk membiayai kegiatan pengembangan bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri perkebunan, sebagaimana diatur dalam PP No. 24 tahun 2015 pasal 9 ayat (2). Hal ini mengakibatkan proporsi penggunaan dana hasil pungutan sawit sebagian besar justru dialokasikan untuk kegiatan tambahan yang dimasukkan melalui PP tersebut, dan kegiatan utama yang diatur melalui UU Perkebunan hanya mendapatkan bagian sangat kecil.
Secara umum penggunaan dana hasil pungutan sawit tahun 2017 yang dialokasikan untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit hanya sebesar Rp702,5 miliar atau setara 6,6 persen. Sedangkan 90,6 persen dana atau sama dengan Rp9,6 triliun dipergunakan untuk membiayai pengembangan bahan bakar nabati (biofuel) dan hilirisasi industri perkebunan yang lebih banyak dikelola oleh perusahaan besar swasta. Pola penggunaan yang “salah kaprah” tersebut menimbulkan ketidakadilan.
- Kerugian Petani Sawit Akibat Bunga Pinjaman
Peremajaan kelapa sawit yang akan difasilitasi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) tahun 2017 adalah sebanyak 28.100 Ha dengan melibatkan 12.796 petani atau keluarga petani. Setiap hektar lahan sawit target peremajaan akan dibiayai dengan dana tersebut sebesar Rp25 juta, namun dipersyaratkan agar petani juga mengambil pinjaman sebesar Rp35 juta.
Kewajiban dan prasyarat kepada petani agar mengambil pinjaman dari lembaga keuangan tersebut secara tidak langsung telah membuka jebakan utang dalam jangka panjang. Dengan target 28.100 Ha yang akan diremajakan, maka tahun 2017 potensi utang yang harus ditanggung petani sawit adalah sebesar Rp983,5 miliar. Apabila nilai utang tersebut berkonsekwensi terhadap bunga, dengan standar suku bunga KUR sebesar 7 persen saja, maka beban bunga yang harus ditanggung petani adalah sebesar Rp68,8 miliar.
Tabel 3 – Estimasi beban utang atas pinjaman peremajaan sawit
Oleh: Hadi Prayitno – Specialist on Budget Policy