Pada Tahun 2016, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia melakukan pertemuan di Istana Bogor membahas hal-hal strategis kerjasama antara kedua Negara. Mengingat kedua Negara ini adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia, yaitu sebanyak 80 % minyak sawit. Kedua pemimpin negara tersebut membahas isu-isu strategis kelapa sawit dan kemudian menyepakati membangun Green Economic Zone (GEZ) yang berkaitan dengan industri kelapa sawit.
Kesepakatan itu dibangun dalam situasi dimana masyarakat Sumatera dan Kalimantan sudah hampir 150 hari menghirup asap akibat kebakaran lahan hutan dan gambut akibat operasi kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Dari kasus ini, muncul pertanyaan; kemana arah kelapa sawit berkelanjutan Indonesia dan GEZ tersebut untuk masalah lingkungan hidup dan masalah sosial dalam negeri?
Pemerintah telah merancang berbagai peraturan yang terkait, bahkan inisiatif pemerintah Jokowi pun untuk melanjutkan moratorium di apresiasi banyak pihak. Namun sayangnya hal ini tidak di dukung dengan kondisi regulasi yang ada, pengawasan yang kuat dan belum memperhatikan petani kelapa sawit sebagai salah satu aktor sawit dalam negeri sehingga masih terjadi banyak pelanggaran.
Petani Dan Sawit Indonesia
Petani kelapa sawit telah menjadi bagian dari industri kelapa sawit Indonesia. Kurang lebih 4 juta petani kelapa sawit bergantung kepada komoditas sawit ini yang sejak tahun 1911 telah di budidayakan secara komersial oleh Indonesia. Luas kelapa sawit indonesia saat ini adalah 13,5 juta ha dan sekitar sekitar 5, 4 juta ha adalah kebun milik petani.
Pada saat ini juga dengan situasi krisis yang menimpa Indonesia berdampak pula pada turunnya harga TBS dari pertengahan tahun sekitar 1800 rupiah kemudian turun tajam hingga 600 – 800 rupiah/ kg. Belum lagi petani kelapa sawit yang kesulitan mengakses keuangan karena terhalang oleh kebijakan pemerintah untuk melakukan replanting.
Negara juga mendapatkan keuntungan dari usaha ini dari sisi export minyak sawit. Tahun 2014 lalu, produksi CPO mencapai 31,5 juta ton. Jika saja produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit per hektar adalah 36 ton/ha/tahun sesuai dengan standar kementerian pertanian maka produksi CPO indonesia dapat mencapai 48,6 juta ton.
Petani yang mengelola komoditas ini sangat berbeda jauh dari perusahaan yang mengelola komoditas yang sama. Seperti misalnya penggunaan bibit kelapa sawit, akses pupuk, akses keuangan, kapasitas hingga berdampak pada rendahnya produktivitas tandan buah segar kelapa sawit. Produksi TBS di tingkat petani per hektar hanya berkisar 12-14 ton/ha/tahun dan perusahaan kelapa sawit yang memiliki akses yang lebih luas dari petani khususnya akses mendapatkan pupuk, penggunaan teknologi hingga akses keuangan hanya mamiliki produksi 19 – 24 ton/ha/tahun.
Dari hal tersebut, pemerintah sebagai penentu dari bisnis ini harus mampu mendorong peningkatan produktivitas kelapa sawit agar mencapai hasil yang maksimal. Dengan meningkatkan produktivitas, diharapkan dapat meminimalisir resiko dampak sosial dan lingkungan yang berujung kepada rendahnya daya saing sawit indonesia ke pasar global yang selalu di cap unsustainable.
Sawit Berkelanjutan
Indonesia telah memiliki standar kelapa sawit berkelanjutan yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Pembentukan standar ini dengan bermaksud agar kelapa sawit yang di produksi dalam negeri dapat mencegah dampak buruk dalam operasinya baik aspek lingkungan maupun aspek sosial ekonominya. Untuk mencapai visi ini, ISPO memiliki standar sendiri berdasarkan regulasi dari kementerian pertanian, kementerian agraria dan tata ruang dan kementerian kehutanan.
Dengan kejadian kebakaran hutan dan semakin maraknya pembukaan gambut secara masif dan masih berlangsungnya deforestasi untuk perkebunan maka kredibilitas kelapa sawit berkelanjutan Indonesia sedang digugat. Beberapa pertanyaan yang muncul berkenaan dengan itu seperti; Apakah manfaat dari standar yang ada dalam kasus kebakaran hutan dan alih fungsi gambut? Masihkah kita menjual-jual sawit berkelanjutan Indonesia itu di tengah masyarakat menjadi korban asap?
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam pembangunan global. Bahwa sepatutnya operasi bisnis kelapa sawit harus tunduk pada komitmen pembangunan berkelanjutan yang nyata. Bukti dari pembangunan berkelanjutan yang nyata adalah tidak ada deforestasi, tidak ada kebakaran lahan, dan tidak ada perlakuan secara tidak adil dalam perkebunan bagi petani, buruh dan masyarakat adat.
Indonesia membutuhkan kepatuhan kepada prinsip-prinsip dasar pembangunan berkelanjutan yang nyata. Jika tidak, maka petani kelapa sawit akan kehilangan arah dalam bisnis ini. Petani menginginkan agar harga TBS lebih baik dan branding sawit indonesia di pasar global lebih baik. Jika tidak, maka 4 juta petani kelapa sawit itu akan menjadi korban dari ketidakpatuhan pada pembangunan berkelanjutan yang nyata.
Sawit Indonesia ke depan harus lebih kuat dan bertanggungjawab. Tidak ada makna sawit berkelanjutan jika di sana-sini masih terdapat masalah lingkungan dan sosial. Begitupun halnya rencana pemerintah untuk membentuk lembaga baru untuk sawit berkelanjutan terasa tidak relevan atau dibutuhkan karena semuanya membutuhkan komitmen nyata dari pemerintah agar moratorium yang ada harus diperluas dan dipatuhi. Lembaga itu hanya akan mementingkan Malaysia secara sepihak karena sekitar 40% perusahaan asal Malaysia beroperasi di Indonesia dan cenderung membawa masalah bagi lingkungan hidup dan masyarakat lokal.
Negara juga tidak akan kehilangan sisi pendapatannya jika tidak ada operasi baru kelapa sawit karena dengan kelapa sawit yang ada saat ini saja dapat ditingkatkan produktivitasnya. Di samping itu, keuntungan bagi petani adalah memperluas kerjasama kemitraan berkelanjutan dengan perusahaan karena akan berdampak pada peningkatan income bagi petani, karena selama ini petani mandiri menjual TBS ke tengkulak. Petani dan perusahaan pun akan fokus pada peningkatan produktivitas dan tentunya akan berdampak pada daya saing sawit Indonesia menjadi lebih kuat.