SPKS Petani Sawit Kecil Masih Terlilit Banyak Masalah>
Nasional

Petani Sawit Kecil Masih Terlilit Banyak Masalah

Pemerintah banyak menelurkan aturan soal perkebunan sawit tetapi petani kecil sawit masih alami berbagai masalah. Mansuetus Darto, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, meskipun berbagai peraturan mengenai perkebunan sawit sudah keluar pada kenyataan tak banyak berpengaruh pada kesejahteraan petani sawit.

Baca Juga : http://Gugat Aturan, SPKS Minta Tingkatkan Pemberdayaan Petani Sawit

Meskipun banyak aturan, tetapi petani sawit masih alami berbagai masalah. Mulai penyelesaian kebun petani dalam kawasan hutan, legalitas lahan, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga sawit anjlok, sampai Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-KS) malah banyak subsidi biodiesel.

Berbagai aturan itu, katanya, antara lain, Perpres Nomor 66 /2015 tentang pengumpulan dana sawit, PP Nomor 24/2015 tentang BPDP-KS, Permentan Nomor 1/2018 tentang penetapan harga sawit, Permentan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan inpres moratorium sawit , Perpres Mandatori B20 . Juga RUU Perkelapasawitan sedang dibahas di DPR.

“Dari semua aturan-aturan itu, belum menyentuh problem-problem yang dihadapi masyarakat terutama petani sawit. Lain gatal, lain digaruk. Berbagai regulasi tak bisa menjawab problem sektor sawit,” katanya dalam diskusi pada Hari Tani Nasional, di Jakarta, Senin (24/9/18).
Dia contohkan, aturan BDPD-KS yang digugat SPKS ke Mahkamah Agung karena dana badan ini malah untuk subsidi biodiesel. Dana subsidi biodiesel 90%, berdasarkan hitungan Darto sekitar Rp20 triliun, untuk penanaman kembali (replanting) hanya 2%.

Padahal, katanya, dalam UU Perkebunan Nomor 39/2014 tak disebutkan mengenai penggunaan dana untuk subsidi biodiesel.
“Dana untuk replanting, peningkatan sumber daya manusia, promosi sawiit lebih kecil daripada dana subsidi biodiesel. Ini penyelundupan hukum.”

Selain itu, katanya, untuk mengakses dana replanting, petani harus menempuh jalur birokrasi rumit dan panjang. Seharusnya, buat petani bisa lebih mudah dan sederhana. Belum lagi, persyaratan harus ada bukti legalitas lahan petani.
Ada lagi, soal pengurusan berada di Kementerian Pertanian dan Kemenko Perekonomian serta BPDP-KS hingga membingungkan. “Ini bagaimana? Jangan sampai problem antarkementerian, politik, tata kuasa anggaran, memperlambat replanting,” katanya seraya meminta presiden turun tangan mengatasi masalah ini.

Dia bilang, lahan petani kecil yang mesti penanaman kembali terbilang banyak. Data SPKS, sekitar 32% dari 14,3 juta hektar kebun sawit milik petani swadaya. Selama ini, perhatian pemerintah masih kurang.

Dia juga menyoroti pungutan US$50 per ton oleh BPDP-KS sesuai PP Nomor 24/2015 yang berdampak pada harga tandan buah segar dari petani. Perusahaan, katanya, akan membebani pungutan pada biaya produksi hingga harga TBS petani turun sekitar Rp120-RP150 per kilogram.
“Petani sawit dikebiri untuk kepentingan industri biodiesel dan pemanfaatan selama ini hanya untuk industri biodiesel. Alasan industri untuk pasar baru dan stabilitas harga hanya akal-akalan..”

Tak hanya soal penanaman kembali, kata Darto, petani perlu bantuan agar bisa menjual TBS langsung ke pabrik tanpa melewati tengkulak hingga harga lebih laik.

Tumpang tindih lahan

Tumpang tindih lahan dengan perusahaan hingga terjadi konflik dan kriminalisasi pun masih dialami petani, seperti dialami petani asal Polanto Jaya, Rio Pakava, Donggala, Sulawesi Tengah.

Jufri dan beberapa rekan sesama petani Polanto Jaya harus berhadapan dengan hukum atas tudingan pencurian sawit lima hingga tujuh ton di wilayah yang klaiman PT Mamuang, anak usaha PT Astra Agro Lestari.
Atas tuduhan itu, Jufri vonis bersalah dengan hukuman lima bulan penjara. Jaksa banding. Pada 24 Juli 2018, Pengadilan Tinggi Makassar menjatuhkan hukuman lebih berat, tujuh bulan penjara. Empat warga di Rio Pakava, kini masih proses hukum.

“Itu tanah milik kami diwariskan turun menurun. Lahan saya sekeluarga ada 42 hektar,” katanya di Jakarta, Senin (24/9/18). Mereka punya surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).
Dia cerita, antara 2002-2004, kakao warga dibersihkan oleh Mamuang. Ganti rugi semau mereka, berkisar Rp1-Rp2 juta per hektar.

Mohamad Hasan, Manajer Kajian dan Pembelaan Hukum Walhi Sulawesi Tengah, mengatakan, luas perkebunan sawit di Sulteng 693.000 hektar dari 56 izin dan banyak timbulkan masalah. Di Donggala, misal, katanya, perampasan tanah dan kriminalisasi warga terjadi bertahap dan setiap tahun ada warga tertangkap dan vonis bersalah.
Contoh kasus petani Polato Jaya itu. Warga, katanya sudah mengadu ke pemerintah provinsi dan kabupaten soal konflik lahan mereka dan perusahaan tetapi tak ada respon berarti.

Sumber :

Perkembangan Harga TBS

Berita Harga TBS

Agenda

Agenda Lainnya

Link Terkait

Cerita Petani
Selengkapnya