JAKARTA — Organisasi masyarakat sipil menyarankan pemerintah mengintrospeksi tata kelola sawit sebelum menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Itu perlu dilakukan agar pemerintah tidak blunder saat mengajukan gugatan.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (22/3/2019), mengatakan, pemerintah mesti introspeksi karena masih memiliki banyak pekerjaan rumah soal tata kelola sawit. Beberapa kebijakan yang diambil pemerintah untuk perbaikan tata kelola belum berjalan dengan baik.
Yuyun menjelaskan, program moratorium perkebunan sawit yang berlaku tiga tahun sejak September 2018 belum berjalan dengan baik. Bahkan, dua bulan setelah kebijakan itu disahkan, pemerintah masih memberikan izin konversi hutan menjadi perkebunan sawit di Sulawesi Tengah untuk salah satu perusahaan.
Selain itu, kebijakan pemerintah meninjau kembali perizinan perkebunan sawit bermasalah juga belum menunjukkan progres. ”Jadi, bagaimana orang akan percaya pengelolaan sawit di dalam negeri bagus ketika kebijakan yang dibuat pemerintah tidak dilakukan,” kata Yuyun.
Sebelumnya, pemerintah berencana menggugat Uni Eropa ke WTO jika rancangan kebijakan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II jadi disahkan.
Rancangan kebijakan itu mengategorikan minyak sawit (CPO) sebagai bahan bakar nabati tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan serta tidak direkomendasikan di wilayah Uni Eropa. Hal itu dinilai akan merugikan negara-negara penghasil CPO, termasuk Indonesia.
Komentar senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru. Ketika ditemui, Kamis, Monica menyarankan pemerintah introspeksi sebelum menggugat Uni Eropa ke WTO. Dia khawatir pemerintah blunder karena tata kelola sawit dalam negeri masih bermasalah.
”Tidak apa-apa menggugat Uni Eropa ke WTO, tetapi lebih baik pekerjaan rumah kita diselesaikan dulu. Jika tidak, nanti bisa blunder, berbalik ke kita. Mau protes, tetapi kita sendiri buruk, kan malu,” kata Monica.
Menurut Monica, upaya pemerintah dalam memastikan produk sawit berkelanjutan belum tampak. Capaian program sertifikasi Indonesia sustainability palm oil (ISPO) masih rendah. Berita Kompas (28/2/2019) menyebutkan, jumlah sertifikat yang dikeluarkan Komisi ISPO 457 sertifikat untuk 3,8 juta hektar. Luas itu sekitar 27,4 persen dari luas total lahan perkebunan sawit yang mencapai 14,03 juta hektar.
Monica menambahkan, organisasi masyarakat sipil semestinya dilibatkan dalam meninjau kembali perizinan perkebunan sawit. Mereka siap membantu jika pemerintah mau membuka informasi perizinan untuk ditinjau bersama-sama.
Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan, yayasannya tidak anti terhadap perkebunan kelapa sawit. Mereka menyadari kelapa sawit merupakan salah satu penyumbang terbesar devisa negara dan petani kecil juga menggantungkan hidup dari komoditas itu.
”Namun, kita mendorong industri sawit berkelanjutan, terutama yang menjamin hak-hak petani kecil. Sekarang produksi sawit cuma dikuasai segelintir pengusaha besar. Petani kecil masih belum diperhatikan hak-haknya,” kata Nadia.
Reaktif
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, pemerintah terlalu reaktif dengan rancangan kebijakan Uni Eropa terkait dengan sawit, tetapi tidak bereaksi terhadap persoalan sawit di dalam negeri. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit tidak diimplementasikan dengan baik.
Mansuetus pun memaparkan berbagai persoalan sawit dalam negeri. Pertama, pemerintah belum menata dan memperhatikan soal tengkulak yang membeli sawit petani dengan harga yang lebih rendah dari ketetapan harga. Ini sangat merugikan karena sekitar 30 persen petani swadaya terpaksa menjual panennya kepada tengkulak.
Selanjutnya, belum ada pembinaan dan upaya pemerintah terhadap kelembagaan petani agar mereka beralih ke teknologi yang lebih baik agar produktivitas meningkat. Petani yang berada di kawasan hutan belum mendapatkan kepastian legalitas.
”Masih ada tumpang tindih kawasan. Sebagian lahan petani masuk dalam kawasan hak guna usaha (HGU) perusahaan. Ini memicu konflik. Selain itu, belum ada resolusi konflik antara petani dan perusahaan karena skema kemitraan antara petani dan perusahaan tidak adil dan cendrung membangun konflik,” ujar Mansuetus.
SPKS pun mendorong perbaikan tata kelola kelapa sawit, terutama bagi petani kecil. Pemerintah diharapkan mendorong keterlibatan petani kecil ataupun koperasi petani dalam kebijakan B20 yang selama ini dimonopoli industri besar. Moratorium izin perkebunan kelapa sawit mesti dipatuhi agar tidak memicu produksi yang berlebihan sehingga berdampak pada harga.
”Perbaikan tata kelola harus prioritas. Jangan karena ada kebijakan Uni Eropa, terus kita lupa memperbaiki tata kelola. Ada atau tidak kebijakan itu, tata kelola dalam negeri lebih penting. Terkait harga, negara harus melindungi petani kecil,” ujar Mansuetus.
SPKS juga meminta Uni Eropa untuk tidak memukul rata komoditas sawit karena tidak semuanya yang memicu deforestasi. Uni Eropa mesti membela petani kecil yang tidak melakukan deforestasi dan bisa menjaga kelestarian hutan. Anggota SPKS siap bekerja sama dengan pasar Uni Eropa dalam menyuplai biodiesel yang ramah lingkungan.
Tidak adil
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, sebagaimana diberitakan Kompas, Kamis (21/3/2019), mengatakan, kebijakan Uni Eropa sangat tidak adil. Uni Eropa dinilai telah berlebihan dalam memproteksi komoditas minyak nabatinya yang bersumber dari biji bunga matahari dan rapeseed. Pemerintah pun akan mengupayakan segala cara untuk melawan, termasuk menggugat Uni Eropa ke WTO, apabila kebijakan itu diberlakukan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, kebijakan itu diskriminatif terhadap Indonesia. Sedikitnya 20 juta warga Indonesia yang memperoleh penghasilan secara langsung dan tidak langsung dari industri kelapa sawit akan terdampak. Industri kelapa sawit berkontribusi hingga 3,5 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia.
Luhut menambahkan, selain menggugat ke WTO, pemerintah juga mempertimbangkan untuk memboikot produk-produk Uni Eropa. ”Kami tahu produk-produk mereka di sini, mulai dari mobil, pesawat terbang, hingga rencananya kereta api,” kata Luhut.
Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend mengatakan, jika memang ada ketidaksepakatan dalam perdagangan, langkah yang tepat adalah membawanya ke WTO. ”Jadi, saya pikir, langkah Indonesia yang akan membawa dokumen RED II ke WTO sudah tepat untuk menyelesaikan perselisihan dagang,” kata Vincent. (YOLA SASTRA)
Sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/03/22/perbaiki-tata-kelola-sawit-sebelum-gugat-uni-eropa-ke-wto/