Latar Belakang
Realitas perkebunan kelapa sawit rakyat khususnya petani sawit swadaya sudah sejak lama tidak pernah diberdayakan oleh para pemangku kepentingan kelapa sawit yaitu pemerintah dan perusahaan. Sehingga menjadi sesuatu yang lazim bahwa petani swadaya tidak memiliki pengetahuan untuk melakukan budidaya kelapa sawit sesuai standar good agriculture practice (GAP), seperti lahan yang sesuai untuk di tanam sawit, penggunaan bibit, pupuk dan usaha inovatif lainnya untuk peningkatan produktivitas kelapa sawit.
Karakteristik petani swadaya juga saat ini belum jelas, siapa yang akan dibina oleh para pemangku kepentingan. Secara regulasi petani dapat mengelola kurang dari 25 ha. Namun, banyak di antaranya yang semata-mata mendapatkan keuntungan yaitu mereka yang tidak tinggal di perkebunan, bukan mereka yang mengerjakannya, mereka menggunakan buruh, dan rata-rata tinggal di kota. Mereka juga memiliki manajemen di wilayah untuk mengelola kebunnya. Saat ini juga tidak ada satupun institusi, berapa independent smallholders yang patut untuk diberdayakan dan berapa jumlahnya dan dimana saja mereka.
Dalam konteks pemasaran produksi TBS kelapa sawit, petani mandiri hanya memiliki alternatif penjualan TBS melalui tengkulak karena selain tidak memiliki akses penjualan yang jelas, faktor produksi dan produktivitas serta kondisi infrastruktur dan transportasi yang masih sulit dijangkau dan efektif bagi keberadaan perkebunan swadaya. Hanya individu-individu yang “besar” yang lebih dari 25 ha yang bisa masuk ke dalam mill dengan ikatan kontrak maupun mitra perusahaan. Sementara petani kecil yang legal, tidak di kawasan hutan dan gambut, mereka menjual ke tengkulak dengan harga yang rendah.
Dalam peraturan pemerintah Indonesia melalui Permentan Nomor 98 Tahun 2013 tentang Perijinan Usaha Perkebunan menyebutkan jika aspek ijin usaha budidaya bagi petani kurang dari 25 ha hanya dengan STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) dan aspek lingkungannya dengan SPPL (Surat pernyataan pengelolaan lingkungan hidup). Sementara bagi yang lebih dari 25 ha, mereka wajib menggunakan IUP dan HGU hingga membuat skema kemitraan.
Fakta Di Lapangan
Secara sederhana, ketelusuran rantai pasok minyak sawit atau traceability pada dasarnya dilakukan melalui suatu pendekatan yang berupaya mengidentifikasi terpenuhinya serta memastikan pasokan minyak kelapa sawit dan TBS yang diolah berasal dari sumber yang memenuhi aspek-aspek sustainability. Aspek-aspek sustainability tersebut terkait dengan legalitas, nol-deforestasi, nol-gambut, nol-konflik sosial. Selanjutnya berdasarkan identifikasi dan data-data yang diperoleh, perusahan berkewajiban melakukan pemberdayaan kepada petani sawit, selain meningkatkan produksi dan produktivitas, juga sebagai upaya persiapan petani sawit menuju sertifikasi yang memberikan label sustainability palm oil. Hal ini dilakukan perusahaan biasanya dilakukan hanya pada petani sawit yang memasok TBS ke pabrik pengolahannya.
Akan tetapi terdapat beberapa fakta yang terjadi di industri perkebunan kelapa sawit terkait bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha perkebunan khususnya perusahaan, dalam ketelusuran minyak sawit atau rantai pasok TBS kelapa sawit.
Upaya memastikan rantai pasok minyak kelapa sawit dan TBS yang berkelanjutan terdapat beberapa perusahaan yang melakukan pendataan, pemberdayaan, sertifikasi, kepada petani-petani swadaya yang sudah sejak lama memasok TBS ke mill perusahaan. Beberapa perusahaan dalam proses pendataan, pemberdayaan, sertifikasi, kepada petani-petani mandiri tersebut, diantaranya dilakukan mulai dari tengkulak atau pengumpul sebagai perantara dalam penjualan TBS petani sawit, terkait misalnya dari mana asal asul TBS serta informasi lainnya. Setelah diperoleh, perusahaan selanjutnya akan melakukan pendataan. Akan tetapi, kondisi lainnya adalah beberapa tengkulak akan menjual ke pengumpul yang sudah mendapat mendapatkan deliver order (DO) dari perusahaan sebagai akses untuk penjualan TBS secara langsung ke mill perusahaan. Akan tetapi tengkulak yang menjual TBS ke pengumpul yang memiliki DO ke perusahaan, memasok TBS kelapa sawit yang tidak jelas identitasnya terkait dengan asal TBS yang dipasok dari mana.
Beberapa hal lainnya, perusahaan mendapatkan pasokan TBS dari individu dengan skala lahan yang lebih dari 25 ha-100 ha bahkan lebih. Bagi yang kebunnya agak luas dapat menjual TBS secara langsung ke mill. Karena pengangkutan/ transportasi/ produksi TBS kelapa sawit dalam jumlah yang besar.
Kondisi lainnya adalah perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kebun inti tidak terlalu luas namun memiliki pabrik dengan kapasitas besar seperti 45 ton/jam atau 60 ton/jam mendapatkan pasokan TBS dari independent growers atau PT/ perusahaan yang memiliki kebun tetapi tidak memiliki pabrik.
Sementara itu, petani-petani kecil yang mengusahakan lahan perkebunan sawit dengan luasan kurang dari 25 ha dan bekerja secara langsung di kebunnya (definisi SPKS) lebih banyak menjual TBS ke tengkulak daripada memasok buahnya ke para pengumpul/DO.
Fakta lainnya, beberapa perusahaan juga memiliki “RAM-SAWIT”, seperti pengumpul besar. Pembelian TBS oleh RAM Sawit dilakukan di tempat lokasi RAM, berbeda dengan tengkulak. RAM Sawit yang dimiliki oleh perusahaan atau pengumpul besar tersebut beberapa diantaranya berada di wilayah kabupaten lainnya yang juga menghasilkan produksi TBS kelapa sawit. Sebagai contoh, misalnya: perusahaan A berada di Kabupaten Labuan Batu, untuk mendapatkan buah yang lebih besar, mereka akan membangun “RAM sawit” di kabupaten B. RAM sawit itu kemudian mengangkut buah ke Pabrik di Kabupaten labuan batu.
Dari fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan pendekatan mill yang digunakan perusahan untuk mengetahui serta memastikan ketelusuran rantai pasok TBS yang memenuhi aspek-aspek keberlanjutan masih lemah khususnya ketelusurannya sampai pada tingkat petani kecil. Disamping itu, pendekatan mill juga akan menimbulkan beberapa potensi permasalahan ke depan. Selain itu, dengan adanya realitas-realitas tersebut tidaklah mengherankan jika data-data dari petani, berdasarkan pendataan yang dilakukan perusahaan untuk mengetahui traceability sumber TBS tidak akan terbuka ke publik. Beberapa perusahaan beranggapan bahwa data tersebut bersifat rahasia. Adapun pendataan juga dilakukan sendiri oleh perusahaan kepada petani-petani sawit yang memasok TBS ke pabrik pengolahannya.
Bagaimana Dampak Bagi Petani Dan Visi Nol Deforestasi?
SPKS menilai bahwa pendekatan mill tentu tidak akan memberdayakan petani kecil walaupun petani-petani kecil sudah berada pada wilayah kebun yang tepat. Dalam konteks traceability, perusahaan yang menggunakan pendekatan mill terlihat akan sibuk “menyelamatkan diri”.
Pendekatan ini juga akan berpotensi bahkan merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap petani. Karena yang diberdayakan hanya bagi petani-petani yang sudah menggunakan bibit yang unggul. Padahal faktanya, persoalan penggunaan bibit yang tidak unggul bukanlah kesalahan petani kecil, akan tetapi ketiadaan akses pendanaan dan ketersediaan bibit yang unggul yang sangat terbatas bahkan di beberapa wilayah masih sangat sulit didapatkan. Hal tersebut juga disebabkan karena minimnya informasi bagi petani-petani kecil.
Selain itu potensi diskriminasi lainnya adalah penjualan TBS langsung ke pabrik hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu saja di desa dengan harga-harga yang bagus. Sementara itu petani kecil dengan skala 2 ha harus menjual ke tengkulak dan tidak diberdayakan. Perusahaan selalu mensyaratkan petani kecil harus berkelompok, tentu sangat dipahami dan merupakan aspek penting bahwa dengan berkelompok petani kecil akan lebih tertib karena akan dibina oleh organisasinya. Di samping itu juga, penjualan buah akan lebih bagus dalam jumlah yang banyak karena petani kecil berkelompok. Namun, akan sangat sulit dalam waktu yang cepat petani-petani kecil itu dapat berkelompok, diperlukan pendidikan dan pelatihan. Di samping itu juga, meskipun telah berkelompok atau membentuk koperasi tidak ada garansi dan jaminan bagi petani kecil itu akan mendapatkan harga yang lebih baik.
Dari aspek sosial, pendekatan mill justru tidak memberikan solusi untuk mengakhiri kesenjangan sosial perusahaan dengan petani kecil, karena perusahaan hanya akan membantu/menerima buah bagi individu dengan skala kebun yang luas karena dapat memasok buah yang besar.
Dari aspek lingkungan pendekatan tidak akan membantu menihilkan deforestasi karena berbasis pada rantai pasok. Sementara pemasok banyak yang belum memenuhi aspek legal, pendataan belum jelas, tengkulak, pengumpul dan RAM sawit tidak memiliki basis data yang jelas terkait asal TBS kelapa sawit yang di pasok ke perusahan.
Traceability ke tingkat pabrik bahkan hingga ke tingkat kebun bukanlah solusi. Traceability adalah jalan atau cara untuk melihat apakah sumber minyak dan buah sawit itu memenuhi aspek-aspek sustainability seperti legalitas, nol-deforestasi, nol-gambut, dan nol-konflik sosial.
Pendekatan yang mengutamakan traceability ke tingkat pabrik dan kebun rentan mengakibatkan terjadinya diversifikasi pasar. Artinya, pabrik yangg biasanya risk-averse atau menghindari resiko hanya akan membeli buah dari sumber-sumber yang legal, clean and clear, dan meninggalkan sumber-sumber buah dari petani swadaya yang mungkin sudah turun temurun berada di kawasan hutan, wilayah gambut, dan dengan kualitas buah yang kurang baik.
Akibatnya, petani swadaya akan termarginalkan atau terpinggirkan dan tidak memiliki akses pasar yg bisa membantu mereka dalam mendapatkan legalitas budidaya dan legalitas lahan serta dukungan organisasi dan budidaya kelapa sawit yang baik dan benar.
Dalam konteks pemberdayaan petani, pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan yurisdiksi. Pendekatan bottom up atau dari bawah yang melibatkan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan di tingkat yurisdiksi seperti organisasi petani, kelompok masyarakat adat, LSM dan perusahaan.
Perusahaan pembeli minyak sawit seperti UL sebaiknya mendorong kerja yang lebih besar di tingkat yurisdiksi untuk mendorong terjadinya perubahan yang lebih besar dan signifikan dalam membantu petani masuk ke dalam rantai pasok minyak sawit yang berkelanjutan.
Bersama dengan supplier-suppliernya, UL seharusnya berinvestasi di dalam pembangunan basis data dan informasi petani swadaya di tingkat yurisdiksi yang disepakati, dengan dukungan pemerintah daerah, LSM dan organisasi petani. Pembangunan basis data dan informasi ini bisa dimulai dari pemetaan petani, yang kemudian didorong dan diberdayakan menuju keberlanjutan. Saat ini sudah banyak organisasi, salah satunya SPKS, yang mendorong pemberdayaan petani dalam konteks yurisdiksi ini.
Upaya dan investasi UL dalam mendorong pabrik-pabrik minyak sawitnya untuk mendapatkan standar keberlanjutan adalah suatu hal yang penting, tapi upaya dan investasi ini tidak akan berdampak banyak terhadap perbaikan di lapangan dan terutama dalam kesejahteraan petani.
Solusi
Pemberdayaan petani harus dilakukan secara menyeluruh dengan pendekatan jurisdiksi atau landscape. Karena dengan begitu, akan mengidentifikasi secara menyeluruh. Perusahaan kemudian akan mengklasifikasinya berdasarkan kategorisasi tertentu yang dapat dibuat untuk memenuhi aspek sosial dan lingkungan.
Pendekatan jurisdiksi tidak hanya akan meningkatkan kapasitas petani kecil, namun juga akan meningkatkan kapasitas dan pemahaman mereka tentang sustainability dan mendapatkan harga yang lebih bagus. Selain itu, akan menyentuh aspek yang humanis dengan menyentuh aspek kemiskinan warga negara Indonesia yang betul-betul perlu dibantu dan diberdayakan.
Pembeda | Pendekatan Mills | Pendekatan Juridiksi |
Pelayanan | Bisnis | Kewargaan |
Subyek | Lebih dari 25 ha, kurang dari 25 ha, petani berkelompok, PT/Perusahaan yang belum memiliki mills | Lebih dari 25 ha, kurang dari 25 ha, PT/Perusahaan yang belum memiliki mills, dan petani kecil. |
Inovasi bagi Petani kecil | Tidak ada | Melahirkan inovasi bagi petani kecil untuk berkelompok |
Pendataan | Bersifat bisnis | Bersifat bisnis, membantu petani kecil dalam mendapatkan legalitas STDB, membantu pemerintah |
Partisipasi | Perusahaan sentralistik | Partisipatif (desa, kecamatan, pemerintah daerah) |
Transparansi | Eksklusif | Inklusif |
Aktor | Perusahaan | Para Pihak |
Solutif | Tidak solutif untuk aspek legalitas dan visi nol deforestasi | Solutif |
Good Governance | Tidak berkontribusi pada good governance | Berkontribusi pada good governance dalam perizinan |
Pendekatan | Top down | Bootom up |