Perkebunan di Indonesia telah menciptakan dualisme perekonomian pertanian warisan kolonialisme, yaitu perkebunan skala besar dan petani pertanian skala kecil. Ketiadaan progam pembaruan agraria mengakibat struktur agraria di perkebunan tidak berkeadilan sosial dan terus memicu konflik agraria.
Meski demikian perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit dipandang sebagai cabang produksi startegis yang menyumbang terhadap devisa negara yang besar. Nilai strategisnya itulah yang kini mendorong DPR untuk menjadikan RUU Perkelapasawitan masuk dalam agenda Prioritas Progam Legislasi Nasional Tahun 2016.
Menurut data yang dikumpulkan Serikat Petani Kelapa Sawit bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2015, bahwa Subsektor usaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, mengalami perkembangan secara signifikan setiap tahunnya. Tahun 2015, luas areal Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia adalah ±11.444.808 hektar dengan total produksi 30.948.931 ton CPO. Luas areal Perkebunan Sawit milik petani pekebun sebesar ± 4.739.986 hektar (11.312.640 ton CPO), luas Perkebunan Sawit Milik Negara ±769.357 hektar (2.201.634 ton CPO) dan luas Perkebunan Kelapa Sawit milik Perusahaan sebesar ± 5.935.465 hektar (17.434.658 ton CPO).
Keputusan Yang Menyejarah
Pada tanggal 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi melakukan pembacaan putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Serikat Petani Kelapa Sawit, Serikat Petani Indonesia, Aliansi Petani Indonesia, Sawit Wacth, Bina Desa dan Field dengan kuasa hukum dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) .
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi keputusan bersejarah dalam sejarah perkebunan di Indonesia, karena diharapkan akan menjadi pintu pembuka reforma agraria di kawasan perkebunan, khususnya dalam persoalan tanah, perbenihan, dan kriminalisasi terhadap petani.
Hak Atas Benih Petani Pekebun
Mahkamah Konstitusi dengan merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujiaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3), Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional.
Putusan ini membawa dampak petani pekebun yang merupakan perseorangan petani kecil tidak perlu izin ke Pemerintah dalam rangka pencarian dan pengumpulan sumberdaya genetik, melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul, dan mengedarkan varietas hasil pemuliaan ke komunitasnya.
Perusahaan Wajib Punya Hak atas Tanah
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 42 Undang-Undang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensi dari putusan ini adalah Perusahaan Perkebunan harus memiliki hak atas tanah dan izin usaha perkebunan. Tidak boleh hanya punya salah satu.
Di dalam prakteknya memang ada banyak perusahaan hanya punya izin, sedangkan hak atas tanahnya, baik yang berupa Hak Guna Usa untuk lahan budidaya dan Hak Guna Bangunan untuk lahan pengolahan, seperti pabrik, tidak dimilikinya.
Bahkan ada juga perusahaan yang izinya bermasalah tapi tetap beroperasi dan ada juga HGUnya yang habis tapi berkonflik dengan penduduk sekitar dalam persoalan tanah bekas HGU tersebut.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini maka perusahaan perkebunan perfomanya harus benar benar baik, sehingga memperoleh izin dan perolehan tanahnya dilakukan dengan benar sehingga status tanahnya clean and clear. Yang kemudian memenuhi syarat memperoleh hak atas tanah
Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Kepastian hukum atas hak atas tanah masyarakat ada juga makin kuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, karena dengan diputuskannya pasal 55 Undang-Undang Perkebunan inkonstitusional bersyarat. Maka kesatuan masyarakat hukum adat yang mengerjakan tanah ulayatnya sendiri tidak bisa dikriminalkan dengan Pasal 55 Undang-Undang Perkebunan.
Kesatuan masyarakat hukum adat yang mengerjakan tanah ulayatnya tidak bisa dikategorikan setiap orang tidak sah melakukan perbuatan di lahan perkebunan.
Putusan atas Pasal 55 Undang-Undang Perkebunan berkonsekuensi terhadap Pasal 107 Undang-Undang Perkebunan. Pasal pemidanaan ini juga inkonstitusional bersyarat, artinya tidak bisa dipergunakan kepada kesatuan masyarakat hukum adat yang mengerjakan tanah ulayatnya sendiri.
Pertanyaanya bisakan pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diterapkan untuk petani yang bukan kesatuan masyarakat hukum adat, ketika lahan perkebunan perusahaan hak atas tanahnya bermasalah karena ada klaim masyarakat di sana, atau ketika HGUnya habis dan masyarakat mendudukinya karena ada klaim pemilikan dari masyarakat.?
Kemitraan Usaha Perkebunan
Memang Mahkamah Konstitusi tidak menyatakan Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945. Pola kerja sama usaha perkebunan sebagaimana disebutkan pasal 57 ayat (2) yaitu berupa penyedia sarana produksi; produksi; pengolahan dan pemasaran; kepemilikan saham; dan jasa pendukung lainnya.
Namun menurut pendapat Mahkamah Konstitusi, bahwa pasal 57 ayat (2) UU Perkebunan mengatakan bahwa kemitraan tersebut tidak menutup peluang pola kerja sama untuk hal hal lain di luar yang disebutkan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Perkebunan.
Selain itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pola kerja sama tergantung pada kesepakatan pihak-pihak yang akan bekerjsama atau bermitra, dan kedua belah pihak berpegang pada dokumen kesepakatan dan aturan yang sama
Selama ini praktek pola kerja sama atau kemitraan usaha perkebunan hanyalah pola inti-plasma, dan apa yang disebutkan dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkebunan, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah pola inti plasma, dan di dalam undang-undang tersebut juga menyebutkan alternatif di luar pola inti-plasma.
Dengan Mahkamah Konstusi berpendapat bahwa alternatif pola kemitraan tetap terbuka menjadi harapan baru dalam menentukan pola kemitraan yang melindungi hak-hak petani pekebun. Apalagi jika dokumen kesepatan dan aturan juga jelas, karena di dalam prakteknya sering tidak jelas atau bahkan tidak ada atau petani pekebun tidak mengetahui dokumen kesepakatan kerja sama atau kemitraan tersebut.
Berkekuatan Hukum Mengikat
Guna menjalan putusan Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya Pemerintah melakukan penyesuaian dalam hal pengaturan, pengurusan dan pengelolaan perkebunan. Merupakan tugas sejarah dan konstitusional Pemerintah kepada Rakyat dan Republik Indonesia, untuk mempergunakan kewenangan yang diamanahkan rakyat, guna mewujudkan keadilan sosial melalui reforma agraria di perkebunan.