Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah akan lebih agresif mengimplementasikan program mandatori biodiesel. Salah satu caranya adalah dengan memperluas pemberian insentif pada program tersebut.
Program mandatori biodiesel telah dijalankan sejak 2015. Melalui program ini, Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis minyak solar untuk keperluan kewajiban pelayanan publik (PSO) harus dicampur dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan kadar tertentu. Langkah ini diambil untuk mengatasi masalah tertekannya harga minyak sawit dunia di tengah kelebihan pasokan kala itu.
Sesuai peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015, mandatori campuran BBN 15 persen (B15) dimulai pada April 2015, campuran BBN 20 persen (B20) pada 2016, dan campuran BBN 30 persen (B30) pada Januari 2020.
Insentif program mandatori biodiesel merupakan selisih harga pasar biodiesel dengan solar. Insentif ini diberikan kepada Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN), dalam hal ini produsen fame yang merupakan BBN berbasis kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pencampur biodiesel.
Sebagai catatan, harga pasar biodiesel saat ini berada di atas harga pasar solar.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menyebutkan saat ini selisih keduanya berkisar Rp400 per liter. Dengan insentif ini, produsen biodiesel dapat menjual biodiesel sesuai harga pasar dan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BUBBM) bisa menjual biodiesel ke masyarakat dengan harga sama dengan solar.
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, insentif program mandatori biodiesel berasal dari Dana Sawit hasil pungutan ekspor atas minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan turunan CPO yang berjalan sejak pertengahan 2015.
Besaran pungutan ditetapkan sebesar US$50 per ton untuk ekspor minyak sawit. Adapun besaran pungutan lebih rendah diberikan untuk ekspor produk turunan minyak sawit lebih rendah. Misalnya, untuk ekspor minyak goreng sawit besaran pungutannya US$20 per ton.
Berdasarkan data Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, sejak program dukungan Dana Sawit berjalan pada Agustus 2015 hingga April 2018, total Dana Sawit yang telah disalurkan mencapai Rp24,71 triliun untuk 5,88 juta kl biodiesel.
Kucuran dana tersebut telah membantu penghematan devisa negara dari pengurangan impor minyak sebesar Rp30 triliun dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 8,79 Juta ton karbondioksida.
Tak ayal, di tengah tekanan defisit neraca perdagangan, khususnya di sektor minyak dan gas bumi (migas), pemerintah ingin mengoptimalkan penggunaan biodiesel yang diproduksi di dalam negeri untuk mengurangi impor minyak.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) selama Januari – Juni 2018, neraca dagang Indonesia defisit US$1,02 miliar. Defisit terjadi karena secara kumulatif ekspor hanya sebesar US$88,02 miliar sedangkan impor paruh pertama tahun ini mencapai US$89,04 miliar.
Khusus untuk impor migas, sepanjang semester I 2018 tercatat mencapai US$14,04 miliar atau melonjak 20,82 persen dari posisi tahun lalu US$11,62 miliar.
“Defisit migas membengkak karena harga minyak dunia naik dan ke depan akan makin membengkak karena harga (minyak) terus naik,” ujar Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/7).
Sebagai pembanding, rata-rata kenaikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) per Juni 2018 telah mencapai US$66,5 per barel atau lebih tinggi dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$48 per barel.
Selain itu, lanjut Faisal, dengan meningkatan pemanfaatan biodiesel di dalam negeri, pemerintah juga bisa mengerek harga minyak sawit yang sedang tertekan di tengah banyaknya hambatan ekspor minyak kelapa sawit.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sepanjang Mei 2018 harga minyak sawit mentah (CPO) global bergerak di kisaran US$650 hingga US$670 per metrik ton dengan harga rata-rata US$653,6 per metrik ton atau turun dibandingkan rata-rata harga pada April 2018, US$662,2 metrik ton. Pelemahan ini dipicu oleh stok yang melimpah di pasar global.
Pada periode yang sama, volume ekspor minyak sawit (termasuk biodiesel dan oleochemical) Indonesia menurun tiga persen dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 2,33 juta ton.
Selama ini, insentif biodiesel diberikan pada sektor pelayanan publik (PSO) dalam hal ini transportasi dan listrik. Tahun ini, pemerintah ingin mendorong penggunaan biodiesel B20 ke sektor non PSO seperti sektor pertambangan dan industri pengguna mesin diesel lain.
Berdasarkan proyeksi pemerintah, jika kebijakan B20 diperluas sepenuhnya ke pengguna solar non-PSO, konsumsi biodiesel bisa meningkat dari 3,12 juta kl untuk PSO menjadi 6,32 juta kl. Proyeksi itu dibuat dengan asumsi total total kebutuhan solar tahun ini mencapai 31,62 juta kl di mana sebanyak 15,62 juta kl diantaranya merupakan solar PSO dan sisanya solar untuk kebutuhan industri lain.
“Kami sudah memperhitungkan bahwa apabila B20 bisa terwujud secara penuh, katakan tidak 100 persen tetapi 95 persen atau 97 persen, itu Indonesia akan menghemat devisa untuk mengimpor solar kira-kira US$5 miliar hingga US$5,5 miliar setahun,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution kemarin.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mendukung langkah pemerintah untuk memperluas program B20. Industri, lanjut Aprobi, siap meningkatkan pasokan biodiesel sesuai kebutuhan mengingat kapasitas terpasang produksi biodiesel BUBBN di atas kebutan
“Kami tidak ada masalah dengan (produksi) fame. Seandainya B20 dilaksanakan sepenuhnya maka diperlukan sebesar 6 juta kl sedangkan kapasitas produksi terpasang 12 juta kl,” ujarnya.
Direktur Eksekutif BPDP Kelapa Sawit Dono Boestami mengungkapkan dana pungutan kelapa sawit lebih dari cukup untuk mendukung perluasan insentif program mandatori B20 dengan rata-rata pungutan mencapai lebih dari Rp1 triliun per bulan. Untuk 2018, pembiayaan biodiesel dianggarkan sebesar Rp9,8 triliun dengan target volume biodiesel yang dibayar sebesar 3,5 juta kl.
Dono memperkirakan jika program perluasan insentif B20 ke solar non-PSO bisa diimplementasikan tahun ini, volume biodiesel bisa meningkat menjadi 4,5 juta kl. Sebanyak 300 ribu kl dari solar PSO dan 700 ribu dari solar non-PSO yang berasal dari sektor pertambangan dan industri lainnya.
Menurut Dono, saat ini adalah waktu yang tepat mengingat selisih harga pasar biodiesel dengan solar sedang turun, di bawah Rp1.000 per liter. Sebagai pembanding, saat program mandatori B20 diluncurkan selisih harga keduanya mencapai lebih dari Rp3 ribu per liter. Artinya, meskipun secara volume biodiesel yang mendapatkan insentif lebih besar, nilai insentif yang diberikan bisa jadi sama atau bahkan lebih kecil.
Dono juga menegaskan bahwa perluasan penggunaan insentif biodiesel ke solar non-PSO tidak akan mengganggu penyaluran Dana Sawit untuk kepentingan pengembangan industri kelapa sawit.
Sesuai Pasal 11 Perpres 61/2015, selain untuk insentif, Dana Sawit juga digunakan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Perkebunan Kelapa Sawit, penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit, promosi Perkebunan Kelapa Sawit, peremajaan (replanting) Perkebunan Kelapa Sawit; dan sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
“Dana wajib ada. Kalau tidak ada, kami akan cari,” ujar Dono.
Namun, hingga kini pemanfaatan Dana Sawit untuk program noninsentif masih minim. Kendalanya terbentur di masalah administrasi. Misalnya, lahan untuk replanting harus dalam kondisi clean and clear. Artinya, lahan yang belum bersertifikat tidak bisa mendapatkan Dana Sawit.
Karenanya, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mendorong alokasi dana kepada petani kelapa sawit lebih optimal, terutama untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) petani.
“Dana BPDP harus dapat diakses dengan mudah oleh petani dengan tidak menggunakan prosedur yang berbelit,” ujarnya.
Solusi lainnya, lanjut Darto, Dana Sawit untuk pembinaan petani bisa disalurkan langsung ke pemerintah daerah untuk melaksanakan program pembinaan.
Dari sisi industri, Sekretaris Gabungan Kepala Kompartemen Teknik Lingkungan dan Industri Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Abdul Rochim mengungkapkan penggunaan B20 di sektor otomotif tidak mengalami kendala berarti. Di industri otomotif, sesuai amanat pemerintah, penggunaan biodiesel telah berjalan sejak 2016.
Dari sisi konsumsi, penggunaan biodiesel memang sedikit lebih boros. Sebagai gambaran, penggunaan B20 2,8 persen lebih boros dibandingkan solar murni.
“Meskipun biodiesel lebih boros 2,8 persen dibandingkan solar itu lebih baik dari bioetanol yang kalau sudah E100 bisa 44 persen konsumsinya di atas solar,” ujarnya.
Lihat juga:Jokowi Sebut Biodisel Hemat Devisa Rp300 Miliar per Hari
Selain itu, biaya perawatan mesin pengguna biodiesel juga sedikit menggerus kantong untuk jangka pendek. Pasalnya, sifat biodiesel yang mampu membersihkan kerak di mesin mengharuskan pengguna mengganti filter lebih sering.
“Setelah dua atau tiga kali penggantian, kalau kotorannya sudah bersih, itu tidak akan terjadi lagi,” ujarnya.
Di sisi lain, bahan bakar biodiesel lebih ramah lingkungan dibandingkan BBM fosil yang bisa memberikan manfaat lebih besar dalam jangka panjang. Terlebih Indonesia menargetkan bisa mengerek porsi EBT dalam bauran energi primer menjadi 23 persen pada 2025.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia memahami urgensi pemerintah untuk menerapkan penggunaan biodiesel ke sektor industri.
Namun, Hendra memberikan sejumlah catatan. Pertama, jangan sampai perluasan mandatori B20 mengganggu kelancaran produksi batu bara.
Hendra mengungkapkan pelaku industri tambang khawatir bahwa pemberi garansi alat berat tidak akan menanggung kerusakan jika alat berat menggunakan B20. Secara global, sebagian besar garansi hanya diberikan untuk penggunaan biodiesel dengan kadar maksimal 7 persen (B7). Untuk itu, pemerintah harus bisa mencarikan solusi.
Kedua, lanjut Hendra, harus ada solusi mengenai penyimpanan biodiesel jangka panjang. Berdasarkan sosialiasi yang diterimanya, penyimpanan biodiesel hanya bisa dijamin untuk tiga bulan. Padahal, pelaku industri membutuhkan kepastian pasokan untuk jangka panjang.
“Terkait penyimpanan, kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan,” ujarnya.
Ketiga, Hendra juga minta pemerintah merealisasikan pemberian insentif biodiesel ke sektor non PSO. Dengan demikian, mandatori B20 tidak akan membuat biaya produksi perusahaan membengkak.
Perluasan pemanfaatan dana insentif sawit ke non-PSO masih menunggu revisi Perpres 61/2015.
Direktur Jenderal EBTKE Rida Mulyani mengungkapkan saat ini draf revisi Perpres 61/2015 tengah disirkulasi ke para menteri terkait. Setelah ditandatangani oleh para menteri, draf akan diteruskan ke Sekretariat Negara untuk selanjutnya diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Mudah-mudahan Agustus (insentif dana sawit untuk yang non-PSO sudah bisa diberikan),” ujar Rida. (agi/agi)