Permentan No 14 Tahun 2013 sudah seharusnya dicabut dan direvisi, karena bukan saja tidak mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Perlindungan Pemberdayaan Petani, tetapi juga dalam rangka menyesuaikan dengan dinamika kemitraan dan petani pekebun. Dan yang lebih penting agar mekanisme perhitungannya tidak merugikan petani pekebun. |
Terkait Kebijakan Harga TBS Kelapa Sawit
Dasar hukum penetapan harga TBS kelapa sawit diatur melalui Permentan Nomor 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Produksi Pekebun yang mengatur harga pembelian TBS produksi pekebun oleh perusahaan perkebunan atau oleh pabrik kelapa sawit.
Perkembangan regulasi penetapan harga TBS dimulai dengan berlakunya Permentan No. 627 Tahun 1998, Permentan No. 395 Tahun 2005, Permentan No. 17 Tahun 2010, dan terakhir diatur melalui Permentan No. 14 Tahun 2013.
Kebijakan harga pembelian TBS ini sesungguhnya tetap di bawah payung kemitraan, yang kalau merujuk produk legislasi dan regulasi di perkebunan, dan secara praktik, kemitraan ini tetap dimengerti dalam payung inti-plasma. Sehingga, pekebun swadaya kesulitan memperoleh akses kepada perlindungan harga.
Tentu hal tersebut di atas bertentangan dengan kenyataan berkembangnya pekebun swadaya dan adanya regulasi yang mewajibkan perusahaan perkebunan untuk membeli panen pekebun swadaya, seperti yang diatur oleh Peraturan Daerah Kalimantan Barat No. 18 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan.
Peraturan Daerah seperti tersebut di atas mengakui dan melindungi pekebun swadaya. Sehingga Peraturan Daerah tersebut memerintahkan perusahaan inti untuk menampung (membeli, mengolah, menjual) kebun mandiri yang telah terikat kemitraan dengan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Meskipun Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah Sawit bertujuan untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar TBS kelapa sawit produksi pekebun, dan menghindari adanya persaingan tidak sehat diantara Pabrik Kelapa Sawit (PKS), namun sesungguhnya Permentan ini hanya menyediakan pedoman atau rumus harga pembelian dan pembentukan Tim Penetapan Harga, bahkan pembinaan kepada pekebun dan kelembagaanya diserahkan kepada perusahaan perkebunan.
Penentuan harga sesungguhnya tetap di bawah dominasi perusahaan perkebunan, karena perusahaanlah satu-satunya tempat untuk menjual dan komponen penentuan harga TBS sangat ditentukan oleh perhitungan perusahaan, sehingga ketika perusahaan tidak mau membeli atau harga jatuh, petani pekebun tidak ada perlindungan.
Sesungguhnya jika mengacu kepada Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, perlindungan petani pekebun seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sayangnya Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tidak jelas memberikan perlindungan kepada petani pekebun karena memandatkan kepada peraturan perundang-undangan. Sayangnya lagi Undang-Undang Perkebunan juga tidak mengaturnya kategori petani pekebun yang harus mendapatkan perlindungan.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, pemerintah memiiki kewajiban untuk memberikan jaminan kepastian usaha bagi petani. Jaminan kepastian usaha tersebut berupa jaminan pemasaran yang merupakan hak petani untuk mendapatkan penghasilan yang menguntungkan. Jaminan pemasaran tersebut dilakukan melalui pembelian secara langsung, penampuangan hasil usaha tani dan fasilitas akses pasar.
Hal-hal tersebut di atas itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah ketika terjadi permasalahan pembelian dan harga TBS. Permentan Harga TBS memang sudah selayaknya dicabut, karena bukan saja tidak mengacu ke Undang-Undang Perkebunan yang baru (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014) dan Undang-Undang Perlindungan Pemberdayaan Petani, tetapi juga dalam rangka menyesuaikan dengan dinamika kemitraan dan petani pekebun. Dan yang lebih penting agar mekanisme perhitungannya tidak merugikan petani pekebun.
Terkait Substansi Permentan No 14 Tahun 2013
Permentan No 14 Tahun 2013 ini mengatur tentang rumus harga pembelian TBS kelapa sawit, pembinaan dan sanksi. Harga penetapan TBS ditujukan kepada pekebun yang telah menjadi bagian dalam kelembagaan pekebun dan melakukan kerjasama dengan perusahaan/PKS, dimana perjanjian tersebut diketahui oleh Bupati atau Walikota melalui Kepala Dinas Perkebunan.
Dari rumusan tersebut, Permentan Pedoman Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit sebetulnya belum menyentuh dan mengakomodir dinamika yang ada di tingkat pekebun swadaya yang belum terfasilitasi dalam kelembagaan pekebun dan memilih keluar dari pola kemitraan inti plasma. Sehingga, sulit mengakses penjualan secara langsung ke perusahaan. Pemasaran TBS dilakukan dengan menggunakan perantara sebagai alternative untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Pekebun boleh saja bekerjasama untuk mengakses penjualan secara langsung ke PKS, apabila memiliki lahan perkebunan sawit yang luas untuk memenuhi kapasitas permintaan produksi TBS yang akan diolah di PKS. Realitasnya, rata-rata penguasaan dan pengelolaan lahan oleh pekebun swadaya hanya berkisar pada luasan 2 hektar.
Tidak hanya kesulitan untuk memperoleh harga penetapan, tetapi juga perusahaan tidak memberikan ruang kepada pekebun swadaya untuk melakukan penjualan TBS secara langsung, kecuali dalam skema kemitraan yang ditentukan oleh perusahaan. Sehingga, beberapa temuan di beberapa wilayah, seperti di Kabupaten Sanggau dan Rokan Hulu, pekebun swadaya dianggap sebagai pihak ketiga dalam konteks pemasaran TBS. Kondisi tersebutlah yang melanggengkan ketergantungan pekebun swadaya terhadap tengkulak, yang faktanya lebih banyak merugikan pekebun mandiri dalam konteks harga pembelian TBS.
Jika melihat relevansinya, harga penetapan TBS hanya bisa diakses oleh pekebun plasma atau yang bermitra dengan perusahaan, karena telah memiliki kelembagaan berupa koperasi serta menjalin kerjasama pemasaran TBS yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pola inti plasma yang diterapkan perusahaan perkebunan. Akan tetapi, lagi-lagi yang terjadi bahwa harga penetapan TBS hanyalah harga franko perusahaan dan hanyalah sebuah ketetapan di atas kertas belaka, tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa untuk diimplementasikan di bawah oleh perusahaan dan actor lainnya sebagai harga patokan pembelian TBS. Perusahaan mitra yang melakukan pengolahan cenderung membuat dan/atau memiliki kebijakan sendiri untuk menentukan harga pembelian, dengan mematok secara sepihak komponen-komponen pemotongan harga yang justru tidak relevan.
Meskipun harga yang ditentukan perusahaan kadang bervariasi, misalnya lebih tinggi dari harga penetapan TBS, akan tetapi cenderung tidak bertahan lama dan selalu mengalami fluktuasi atau tidak stabil. Hal ini terjadi karena adanya persaingan diantara perusahan-perusahan lain sebagai kompetitor. Meskipun praktik itu merupakan pelanggaran, namun masih lazim terjadi di lapangan tanpa adanya pengawasan dan penindakan. Sehingga telah menimbulkan kondisi ketidakstabilan harga baik di pabrik serta memberikan kesempatan terjadinya praktek permainan harga TBS oleh tengkulak terhadap harga pembelian TBS produksi pekebun swadaya. Kondisi yang demikian diperparah dengan belum adanya wujud nyata peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memberikan jaminan kepastian usaha dan jaminan perlindungan pekebun dari gejolak harga, serta berbagai insentif yang mesti dilakukan.
Di sisi lain inisiatif kebijakan di daerah untuk memberikan perlindungan terhadap pekebun swadaya dari gejolak harga seharusnya segera diimplementasikan. Melalui Permentan 14 Tahun 2013 dan berbagai regulasi lainnya seperti UU Perkebunan dan UU Perlindungan dan pemberdayaan petani telah memberikan ruang bagi pemerintahan daerah untuk mewujudkan perlindungan serta insentif terhadap pekebun khususnya terkait harga pembelian TBS, serta proteksi terhadap harga yang ditentukan tengkulak.
Dalam Permentan ini juga mengatur tentang pembentukan Tim Penetapan Harga TBS kelapa sawit oleh Gubernur dengan keanggotaan terdiri dari unsur:
- Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota;
- Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota;
- Perusahaan Perkebunan;
- Wakil Pekebun (kelembagaan pekebun); dan
- Instansi terkait lainnya.
Selanjutnya, Tim Penetapan Harga Pembelian TBS kelapa sawit mempunyai tugas dan wewenang untuk:
- Merumuskan dan mengusulkan besarnya Indeks “K” kepada Gubernur;
- Memantau penerapan besarnya Indeks “K” serta komponen lainnya yang terkait dalam rumus harga pembelian TBS;
- Memantau pelaksanaan penerapan penetapan rendemen minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit (PK);
- Memantau pelaksanaan ketentuan dan penetapan harga pembelian TBS;
- Menyampaikan harga rata-rata penjualan minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit (PK) kepada perusahaan dan pekebun/kelembagaan pekebun secara periodik;
- Menyelesaikan permasalahan yang timbul antara perusahaan dan pekebun/ kelembagaan pekebun.
Dalam prakteknya di daerah, kedua substansi terkait keanggotaan dan tugas Tim Penetapan Harga TBS kelapa sawit ini menjadi perdebatan dan dinilai belum maksimal dalam pelaksanaan serta mengawal kebijakan penetapan harga TBS kelapa sawit.
Kritik terhadap keanggotan Tim Penetapan Harga Pembelian TBS baik pada tataran regulasi dan implementasi penting untuk dievaluasi kembali, sebagai jaminan untuk mengedepankan aspek transparansi, keterwakilan dan independensi unsur-unsur keanggotaan. Pelibatan instansi terkait dalam konteks ini seharusnya menjadi suatu peluang dalam memperkuat keanggotaan dan kewenangan Tim dalam pelaksanaan maupun dalam konteks pengawasan atas implementasi penetapan harga TBS. Sehingga wewenang yang dimiliki juga tidak hanya sebatas pada merumuskan harga TBS kelapa sawit serta pembinaan saja. Seperti misalnya, dilibatkannya unsur Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Jika melihat realitas di lapangan, keberadaan Tim Penetapan Harga TBS tidak banyak diketahui dan tidak tersosialisasi dengan baik kepada petani, khususnya pekebun swadaya maupun koperasi pekebun. Hal ini dikarenakan pembinaan kepada kepada pekebun swadaya sebagaimana dalam Permentan ini diserahkan kepada perusahaan yang pada implementasinya cendrung tidak dilakukan bahkan diabaikan.
Keterwakilan pekebun swadaya di dalam keanggotaan atau keterlibatannya dalam pembahasan rumusan penetapan harga TBS di setiap provinsi perlu di evaluasi kembali, karena unsur keterwakilan dan independensi merupakan hal yang utama dalam melegitimasi keanggotaan pekebun (kelembagaan petani) di dalam Tim Penetapan Harga TBS.
Selanjutnya terkait kewenangan, Permentan No 14 Tahun 2013 ini hanya memberikan pedoman penetapan harga dan merupakan dasar hukum bagi pemerintah daerah provinsi yakni Gubernur, selain untuk mengeluarkan suatu keputusan atau penetapan terkait harga TBS tetapi juga membentuk Tim Penetapan Harga TBS kelapa sawit yang memiliki tugas sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) Permentan 14/2013, yang pada pokoknya untuk merumuskan, mengusulkan, sekaligus memantau implementasi pelaksanaan Permentan 14/2013. Artinya, bukan otoritas yang bersifat memberikan penetapan atau keputusan. Wewenang otoritas yang membuat penetapan harga TBS kelapa sawit sebetulnya belum diatur secara jelas dalam Permentan tersebut. Akan tetapi, pada dasarnya suatu Penetapan dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan yakni pemerintah daerah provinsi, yakni Gubernur.
Seharusnya, jika kebijakan penetapan harga tersebut menjadi kewenangan dari pemerintah berdasarkan partisipatif para pihak maka, sebagaimana kewenangannya dalam berbagai regulasi, pemerintah daerah juga memiliki kewajiban untuk melakukan perlindungan bagi pekebun dari gejolak harga. Artinya, harga penetapan berdasarkan penetapan Tim Penetapan tersebut tidak menjadi acuan yang menegasikan kewenangan yang dimiliki pemerintah dalam rangka memberikan jaminan perlindungan bagi pekebun. Namun, dengan kenyataan yang ada tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya, penetapan harga pembelian TBS ini belum memberikan perubahan dalam konteks stabilitas dan perlindungan terhadap harga pembelian TBS produksi pekebun.
Substansi lainnya adalah terkait dengan perjanjian kerjasama antara pekebun (kelembagaan pekebun) dengan perusahaan perkebunan terutama pada konteks peran pemerintah (Kepala Dinas Perkebunan) dalam mengawasi serta mengevaluasi perjanjian kerjasama tersebut. Dalam setiap perjanjian antara pekebun dan perusahaan sering kali pemerintah hanya ditempatkan sebagai pihak yang turut menandatangani, tanpa di atur secara jelas tentang perannya dalam proses penyusunan, evaluasi maupun pengawasan dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut. Sehingga, penerapan Pasal tentang sanksi yang dilakukan Bupati/Walikota dalam Permentan ini menjadi tidak jelas, apakah dilakukan berdasarkan sanksi yang di atur di dalam Perjanjian Kerjasama atau berdasarkan kewenangannya atau pada regulasi yang lain.
Potensi pengabaian terhadap aspek transparansi, keterbukaan, partisipatif serta ada tidaknya itikad baik dari pihak tertentu dalam perumusan maupun pelaksanaan perjanjian kerjasama sangatlah besar, sebagaimana pengalaman yang sudah banyak terjadi dalam pembangunan kerjasama dalam berbagai pola kemitraan. Sehingga seharunya terdapat peran pemerintah yang secara terbuka untuk memastikan terciptanya kerjasama yang adil bagi kedua belah pihak. Meskipun perjanjian kerjasama tersebut sebenarnya selain sebagai legitimasi untuk dapat mengakses harga penetapan pembelian TBS, tetapi juga harus menjadi salah satu indicator utama bagi Tim Penetapan Harga dalam mengawal penerapan harga pembelian TBS di setiap perusahaan atau PKS.
Kebijakan Harga Sawit: Penghapusan Penghisapan Hasil Produksi Petani
Pertama, Indeks K dalam penentuan harga TBS sebagai bentuk penghisapan hasil produksi petani. Beberapa Komponen dalam Indek K yang dinilai merugikan petani kecil adalah sebagai berikut:
N0 |
Komponen |
Keterangan |
Biaya Umum dan Lingkungan |
Terdapat dua bagian yang harus dibiayai petani yakni biaya umum pabrik dan biaya pengelolaan limbah. Biaya umum pabrik ini pun tidak jelas kriterianya dan kegunaannya. Begitupun halnya biaya pengolahan limbah. Fakta selama ini limbah pabrik tidak pernah diolah dengan baik dan justru pengelolaan yang dilakukan dengan biaya gratis (limbah dibuah ke sungai) contoh misalnya; Pengolahan Limbah Pabrik PTPN 13 di semuntai kabupaten Paser dengan pembuangan limbah ke sungai Soi dan pengolahan limbah PTPN 13 di Long Pinang mencemari sawah Mayap serta masih banyak lagi contoh fakta lain. |
|
Gaji dan Tunjangan |
Petani harus membayar gaji dan tunjangan pegawai pabrik dan gaji dan upah bagi non-pegawai di pabrik. |
|
Biaya Langsung
|
Petani harus membayar alat-alat dan perkakas kecil, bahan kimia dan perlengkapan untuk pengolahan, bahan dan alat analisa, bahan bakar dan minyak pelumas, penerangan dan air serta pengangkutan dalam pabrik (Forklift). |
|
Pemiliharaan |
Yang termasuk dalam pemeliharaan ini adalah pemeliharaan bangunan pabrik, pemeliharaan mesin, instalasi dan perlengkapan lainnya. Ini pun semestinya adalah tanggungan pihak pengusaha perkebunan/pemilik pabrik bukan oleh petani kelapa sawit. |
|
Pemasaran |
Yang termasuk dalam biaya yang ditanggung oleh petani di sini adalah Sewa Tangki Timbun, Instalasi/Pemompaan minyak sawit kasar, Asuransi Barang/Produksi, Ongkos Pemuatan Pelabuhan, Provisi Bank, Analisa dan sertifikat. |
|
Pengangkutan Ke Pelabuhan |
Pengiriman dari pabrik ke pelabuhan merupakan bagian potongan yang di tanggung oleh petani. |
|
Penyusutan Pabrik |
Penyusutan mesin, instalasi dan bangunan pabrik juga menjadi tanggung jawab petani sawit. |
Melihat ke-7 poin tersebut secara keseluruhan terkait dengan operasional dari pabrik, akan tetapi dalam implementasinya kesemua biaya tersebut dibebankan kepada petani.
Kedua, Insentif pemerintah atau perusahaan yang belum ada untuk menjamin stabilitas harga dan “memotivasi” petani memproduksi sawit secara berkelanjutan. Persoalan harga TBS menjadi permasalahan utama bagi petani kelapa sawit saat ini. Dari pengamatan yang dilakukan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di lapangan menunjukkan bahwa permasalahan harga TBS di tingkat petani kecil telah berdampak pada upaya meningkatkan produktivitas dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan menjadi sulit diimplementasikan.
Hal tersebut dikarenakan belum adanya insentif sebagai jaminan dari pemerintah maupun perusahaan perkebunan untuk menciptakan stabilitas harga TBS di tingkat petani. Secara langsung pengaruh pendapatan petani atas hasil produksi TBS yang rendah dari penjualan TBS dan bahkan harga TBS yang lebih cenderung merugikan petani belum dapat mencukupi pembiayaan pengelolaan serta pelaksanaan praktek budidaya kelapa sawit terbaik dalam mencapai target produktivitas yang lebih tinggi.
Dari aspek kebijakan dan peraturan perundang-undangan, jelas bahwa negara atau pemerintah memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan bagi petani dari fluktuasi harga TBS agar terciptanya kepastian usaha, sebagaimana bagian dari tujuan terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Meskipun Mandat dalam Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani jelas mengatur bahwa salah satu kewajiban Negara melalui pemerintah pusat maupun daerah, adalah melindungi petani dari gejolak harga, namun sampai saat ini belum adanya tindakan nyata, disaat harga TBS mengalami fluktuasi bahkan petani kelapa sawit yang terus merugi. Pemerintah cenderung melepas tanggungjawab persoalan petani kelapa sawit kepada pihak swasta, dimana hal yang sama juga terjadi yaitu belum memiliki komitmen akan insentif bagi petani kelapa sawit dalam konteks harga TBS.
Jaminan stabilitas harga TBS seharusnya dilakukan melalui realisasi kebijakan penetapan harga TBS yang adil tidak membebankan petani serta adanya upaya pemerintah dalam memberikan subsidi bagi petani kecil dalam menghadapi fluktuasi harga akibat gejolak pasar.
Perusahaan sebagai penerima TBS dari petani juga memiliki kewajiban yang sama secara sosial untuk mendukung petani dalam meningkatkan produksi dan produktivitas serta memotivasi petani untuk mengimplementasikan praktek perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Perusahaan yang memiliki komitmen sosial dan lingkungan belum tersentuh terkait dengan “komitmen pembelian TBS dengan harga lebih baik”. Hingga saat ini tidak ada perbedaan pada harga pokok baik bagi TBS dari petani yang telah memiliki RSPO, ISPO dan petani yang tidak mendapatkan sertifikasi sekalipun. Tidak adanya insentif yang berbeda inilah kemudian yang menyebabkan petani tidak melakukan perawatan secara maksimal dalam melakukan budidaya, karena dirasakan percuma. Meskipun perusahaan besar telah memberikan komitmen sosial dan lingkungannya namun hal tersebut belum termasuk komitmen pembelian TBS dengan harga yang lebih baik.
Ketiga, harga batas bawah dalam situasi “gejolak harga” sebagai bentuk perlindungan negara. Belum adanya harga batas bawah sebagai bentuk proteksi pemerintah dalam menghadapi gejolak harga pasar dari pemerintah. Jika komoditas lain memiliki harga batas bawah seperti beras dan tembakau, hal tersebut tidak terjadi pada komoditas kelapa sawit yang merupakan komoditas yang diklaim strategis dan menjadi primadona oleh pemerintah Indonesia. Sehingga perlu adanya kebijakan ke depan dari pemerintah untuk merumuskan harga batas bawah bagi TBS dalam situasi gejolak harga.
Keempat, perlindungan bagi petani atas harga yang ditentukan oleh tengkulak. Ketergantungan petani kelapa sawit swadaya terhadap tengkulak dalam konteks penjualan TBS kelapa sawit sangat besar. Keberadaan tengkulak dianggap memudahkan petani swadaya dalam melakukan pemasaran TBS, yakni sebagai perantara penjualan TBS ke perusahaan atau PKS.
Kelima, Sawit sebagai komoditas strategis dan diklaim meningkatkan kesejahteraan petani, namun jaminan dan perlindungan petani dalam gejolak harga sangat minim. Langkah pemerintah menjadikan komoditas kelapa sawit sebagai komoditas perkebunan yang strategis dan menjadi andalan di beberapa daerah provinsi maupun kabupaten tidak dibarengi dengan kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan bagi petani, khususnya dalam konteks harga TBS.
Oleh: Gunawan dan Marcel Andri