Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengajukan gugatan uji materil Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, khusus dana perkebunan bagi biodiesel pada Pasal 9 Ayat 2. Serikat ini menilai, isi pasal bertentangan dengan tujuan penggunaan dana perkebunan yang diamanatkan Pasal 93 Ayat 4 UU Perkebunan. Mereka meminta, aturan menekankan perhatian pada pemberdayaan petani.
Dalam periode 2015-2016, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menghimpun dana Rp18,34 triliun, sebesar 89% untuk subsidi hasil bahan bakar nabati (biofuel).
”Dana untuk bahan bakar nabati atau biofuel diterima 19 perusahaan. Artinya, dana perkebunan kembali lagi kepada perkebunan, bukan petani,” kata Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi SPKS, baru-baru ini.
Sedang sisa 11% terbagi dalam beberapa hal, yakni pengembangan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan perkebunan, promosi perkebunan dan peremajaan perkebunan.
Untuk peremajaan kebun sawit sendiri, katanya, hanya 1% atau Rp25 juta per hektar pada 2015-2016, 5% pada 2017 dan tahun ini 22%.
”Biasa kami pinjam ke bank untuk biaya tambahan Rp35 juta,” kata Alex Simamora, petani di Tanjung Jabung Barat, Jambi, saat berorasi di depan Gedung Mahkamah Agung, Februari lalu. Uang sejumlah itu, katanya, sangatlah besar sekali bagi mereka.
Dia bercerita, umur sawit miliknya dan petani yang tergabung dalam SPKS berusia 25-35 tahun hingga tidak produktif dengan hasil hanya 1,5-2 ton per hektar.
Diapun menuntut alokasi lebih dana BPDS sawit kepada petani. ”Berikan 80% dana bagi petani untuk peremajaan kebun,” katanya.
Dia bilang, petani memerlukan biaya operasional perkebunan, sarana dan prasarana informasi pengetahuan dan pembinaan.
Pada 2017, nilai penerimaan dana pungutan badan itu Rp14,2 triliun dengan komposisi 5% untuk penanaman kembali. Prediksi penerimaan pada 2018 sebesar Rp10,9 triliun, jika kondisi masih seperti 2017, kemungkinan bisa Rp13 triliun.
Belum serius
Marselinus mengatakan, pemerintah belum serius meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit.
”Terbukti karena aturan terus dipertahankan selama bertahun-tahun padahal keberlakukan pasal telah merugikan petani sawit,” katanya.
Menurut UU Perkebunan 2014, dana yang dihimpun untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia perkebunan, penelitian dan pengembangan perkebunan, promosi perkebunan, peremajaan perkebunan, serta sarana dan prasarana perkebunan.
Sedangkan, dalam PP Nomor 24/2015 menyebutkan, dana itu untuk pengembangan perkebunan, pemenuhan hasil perkebunan untuk pangan, bahan bakar nabati dan hilirisasi industri perkebunan.
”Kebijakan penghimpunan dana perkebunan seharusnya jadi solusi mengatasi persoalan kualitas sumber daya manusia perkebunan sawit rakyat.”
Dia bilang, petani sangat memerlukan informasi terkait budidaya sawit terbaik dan perkebunan sawit lestari. Juga membantu membangkitkan kreativitas petani sawit agar tercapai produktivitas sawit rakyat lebih tinggi.
Andry menduga, potensi terjadi penyelundupan hukum bahkan penyalahgunaan dana, dimana PP Nomor 24/2015 bertentangan dengan UU Perkebunan Nomor 39/2014.
”Harapannya MA membatalkan itu.”
Dono Boestami, Direktur Utama BPDP-KS mengatakan, permasalahan ini tak bisa dilihat sepenggal-penggal, keduanya merupakan satu kesatuan.
”Ini masalah supply and demand . Kalau tidak ada demand harga CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah-red) akan jatuh dan harga TBS juga akan jatuh,” katanya dalam pesan singkat. Mongabay meminta penjelasan lebih detil tetapi Dono tak bisa dihubungi kembali.
“Jika ada judicial review, tidak boleh biodiesel, CPO mau kemana? rakyat gimana?” kata Edi Wibowo, Direktur Penyaluran Dana BPDP-KS, di kantornya.
Dia mengatakan, stabilisasi harga, hilirisasi produk sawit, memperluas pasar agar harga CPO naik. Kalau harga CPO naik, petani rakyat juga menikmati.
Rudi Gobel, Senior Advisor BPDP-KS menjelaskan, lebih lanjut pasokan CPO sulit bisa diatur, jika ada satu ton CPO, jika tidak terserap, harga pasar akan turun. ”Market yang paling cepat menyerap ya biodiesel, untuk peremajaan butuh waktu, karena harus menyiapkan lahan dan lain-lain,” katanya.
Dia mengatakan, usul Kementerian Pertanian alokasi penanaman kembali 45% bisa saja. Soal kesiapan lahan perlu lebih insentif. ”Yang mesti dilakukan, ada lahan atau tidak, legalitas lahan, penyediaan bibit, pelatihan pengembangan, proses sertifikasi semua ini jalan baru dana peremajaan bisa dikasih, ga sederhana prosesnya.”