JAKARTA -- Ekonom Faisal Basri menuturkan, pihaknya menghitung dampak dari penggunaan biodiesel bagi penghematan APBN sama sekali tidak terbukti. Kebijakan subsidi biodiesel, sambung dia, mengulang kebijakan subsidi untuk solar dulu, yang ongkos keekonomiannya sangat tinggi (high cost economy).
"Artinya, kebijakan subsidi ini hanya berpindah dari yang dulunya subsidi solar untuk produsen minyak luar negeri ke subsidi biodiesel untuk pengusaha biodiesel dalam negeri," kata Faisal dalam peluncuran buku 'Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat dalam Bisnis Biodiesel' di Kekini Workspace, Jakarta Pusat, Senin (3/1/2022).
Dia menjelaskan, tujuan penggunaan biodiesel untuk memperbaiki transaksi perdagangan dengan mengurangi impor solar, sehingga neraca perdagangannya membaik, merupakan kebijakan salah. Pasalnya, pengurangan impor solar dengan digantikan dengan biodiesel membuat ekspor CPO (minyak sawit mentah) menurun. "Seharusnya dampaknya ini perlu dihitung," ujar Faisal.
Menurut Faisal, pemerintah belum peka terhadap keberpihakannya kepada sektor sawit yang terdapat jutaan rakyat di dalamnya. Dia menyebut, setiap ekspor sawit terdapat kebijakan pungutan ekspor dan juga pajak ekspor dalam UU Bea Cukai. Kebijakan pajak ekspor, sambung dia, merugikan petani karena pengekspor tidak mau labanya turun. "Semakin tinggi pajak ekspor semakin turun harga sawit di tingkat petani karena struktur pasarnya oligopoli. Jadi petani kena pajak ekspor dan pungutan ekspor," kata Faisal.
Anggota Fraksi Demokrat DPR Benny Kabur Harman menyatakan, dari sudut pandang politik, gagasan tentang pengembangan biodiesel sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi sejak kampanye pemilu dan pidato kenegaraan di MPR/DPR. Dia menyebut, Presiden semata-mata hanya untuk menyenangkan para oligarki atau orang-orang kuat yang berkepentingan di dalamnya.
"Pengembangan biodiesel ini juga mengandung masalah dit engah persoalan kelapa sawit di sektor hulu, di mana terdapat jutaan hektare dalam kawasan hutan lindung. Akan tetapi, pemerintah atau negara terkesan membiarkan hutan lindung kita dirambah oleh kekuatan modal di sektor kelapa sawit," kata Benny.
Penulis buku sekaligus Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Nasional, Mansuetus Darto menyinggung, pemanfaatan dana BPDPKS untuk biodiesel patut dipertanyakan karena tidak memiliki payung hukum yang kuat terutama dalam Undang-Undang Perkebunan yang hanya mengamanahkan penggunaan dana sawit untuk petani.
Darto mengungkapkan, pengaruh oligarki dan orang kuat dalam bisnis biodiesel dapat dilihat dalam penentuan alokasi prioritas penggunaan dana sawit yang ditentukan oleh komite pengarah dalam BPDPKS. "Di mana keanggotaan komite pengarah memasukkan keterwakilan dari kalangan pengusaha sawit yang juga beroperasi pada bisnis biodiesel sebagai tenaga profesional," kata Darto.
Penulis buku lainnya Ferdy Hasiman menyinggung dana sawit Rp 137,283 triliun yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) periode 2015-2021. Sementara perwakilan petani yang menguasai 41 persen kelapa sawit Indonesia, dalam struktur BPDPKS hampir tidak dilibatkan. Dia menyebut, alokasi dana sawit dalam periode enam tahun itu untuk subsidi biodiesel mencapai Rp 110,05 triliun (80,16 persen).
Sementara alokasi untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) sebesar 6,59 triliun (4,8 persen), serta program penelitian dan pengembangan Rp 389,3 miliar, program pengembangan SDM sebesar Rp 199,01 miliar, program sarana dan prasarana Rp 21,1 miliar, serta Rp 318,5 miliar untuk program promosi, advokasi, dan kemitraan sawit. "Kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit dan selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan politik, dan ini yang disebut kekuatan oligarki dan bisnis orang kuat," kata Ferdy.
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/r6kv83484/faisal-basri-soroti-subsidi-biodiesel-ciptakan-high-cost-economy