JAKARTA. Ekonom Senior Faisal Basri menilai tujuan pengembangan biodiesel untuk menekan defisit transaksi berjalan (CAD) tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Faisal menjelaskan, pengembangan biodiesel diharapkan mampu menekan impor minyak, namun berdasarkan perhitungan opportunity cost, justru defisit perdagangan masih terjadi.
"Ini justru mengakibatkan defisit perdagangan pada tahun 2018 itu Rp 85,2 triliun bukan angka yang kecil dan 2019 itu Rp 72,1 triliun," ungkap Faisal dalam diskusi virtual, Sabtu (29/8)
Ia menambahkan, kebijakan ini juga merugikan para petani sawit. Sementara yang paling diuntungkan dari program ini yaitu para pengusaha biodiesel.
Adapun pengembangan B30 dan B40 oleh pemerintah, menurut Faisal bakal membutuhkan tambahan lahan sekitar 5 juta hektar. "Akan ada peralihan. Subsidi BBM turun, masuk ke subsidi biodiesel. Ini sudah ada item-nya di APBN kita. Juga tambahan lahan. Mengerikan sekali," kata Faisal.
Tak hanya pengembangan biodiesel, di saat yang sama pemerintah juga masih berencana merampungkan empat proyek Refinery Development Master Pland (RDMP) dan dua kilang baru.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya meninjau kembali rencana tersebut. Ditambah dengan ambisi mengembangkan kendaraan listrik, Faisal memprediksi bakal terjadi kekacauan jika semuanya diwujudkan pada waktu bersamaan. Pemerintah juga bakal menanggung ongkos ekonomi yang mahal dari seluruh program tersebut.
"Program gas kota untuk menggantikan LPG melon juga merepotkan. Industri kekurangan gas oleh karena itu sebaiknya didedikasikan sepenuhnya gas untuk industri," pungkas Faisal.