Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) diharapkan memperbaiki kinerjanya, dengan membentuk panitia kerja (panja) bersama DPR RI.
Pasalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) Sumatera Selatan menurun, artinya mereka pelan-pelan termarjinalkan menjadi orang yang daya belinya menurun.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Achmad Hafisz Tohir mengapresiasi ajakan BPDPKS untuk hilirisasi industri, sehingga petani sawit bisa menjual produk dengan harga yang sudah terukur ke depannya.
Baca Juga : Jokowi Didesak Tak Alirkan Dana Sawit untuk Subsidi Biodiesel
“Karena ini menjadi keluhan-keluhan petani sawit yang tentunya menjadi konsen kita sebagai prioritas. Untuk diketahui, penduduk Sumsel ini 55 persen adalah petani, rata-rata terbesar menggunakan lahan sawit dan juga karet. Sehingga kalau kita perbaiki kinerja, maka nilai tukar petani di Sumatera Selatan tentu saja akan meningkat,” kata Hafisz saat memimpin pertemuan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi XI DPR RI dengan jajaran BPDPKS di Palembang, Sumsel, Selasa (19/3/2019).
Menurut Legislator dapil Sumsel ini, produk kelapa sawit dari zaman belanda sampai kemerdekaan hanya bisa menjual tandan buah segar sawit dan Crude Palm Oil (CPO) saja.
Sementara di negara-negara maju sudah menjual kosmetik, padahal ini yang bisa melipatgandakan devisa bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Saat ini, kelapa sawit menjadi penyumbang devisa kedua setelah minyak dan gas (migas).
“Tapi hari ini kita menyaksikan pariwisata naik ke posisi kedua penyumbang devisa terbesar di negara kita dan sawit turun ketiga. Hal ini juga tidak terlepas dari Uni Eropa dan beberapa negara pengimpor kita yang melakukan penekanan, semacam kampanye lingkungan. Sehingga mereka menganggap sawit kita belum memenuhi kriteria sebagai hasil pertanian yang berwawasan terhadap lingkungan,” pungkasnya.
Politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini berharap, kehadiran BPDPKS dapat menghidupkan kembali industri persawitan.
Walaupun ada rencana dari pemerintah meningkatkan bahan bakar biodisel B20 menjadi B30. Tentu ini perlu dipelajari, apakah tidak berbenturan dengan kondisi industri Indonesia saat ini yang masih menggunakan Euro 3.
“Saat ini mobil diesel kita itu masih Euro 3 dan Euro 4, sementara environment green sudah mengharuskan Euro 5 dan Euro 6. Nah, apakah industri kita sudah siap untuk hal ini, itu juga akan dikaitkan kepada kesiapan pemerintah dan masyarakat,” ungkap Hafisz sembari menambahkan bahwa permasalahan ini harus dirapatkan secara lintas kementerian.
Maka dari itu, Komisi XI DPR RI akan mengundang dari 7 lintas instansi untuk disatukan pemikirannya jika ingin menuju Go Green.
“Artinya ini harus disepakati oleh semua sektor. Jangan nanti hanya di bidang transportasinya saja, tapi industri-industri yang pakai mesin genset dan lain sebagainya masih mengadopsi mesin yang lama, sehingga sia-sia kalau kemudian kita membuat greenfuel dan biodiesel,” tutupnya.(*)
Sumber : http://www.tribunnews.com/