InfoSAWIT, JAKARTA – “November telah tiba. Pertemuan 15th Annual Roundtable Conference on Sustainable Palm Oil pun siap untuk digelar. Namun, mampukah RT 15th di tahun ini benar-benar menyuarakan hak petani hingga nyaring terdengar…?”
November, ibarat “lebaran” bagi Industri kelapa sawit dari seluruh penjuru dunia. Bagaimana tidak, setiap tahunnya di bulan ini, perwakilan dari; perusahaan, para buyer, LSM, ormas, perwakilan petani, di sektor sawit akan berkumpul dalam pertemuan tahunan yang dikenal sebagai Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Salah satu tujuan diselenggarakannya pertemuan tahunan tersebut antara lain untuk membahas peranan RSPO terhadap keberlanjutan nasib petani sawit swadaya di sektor ini. Pada tahun 2017, konferensi dengan skala internasional ini akan diselenggarakan pada tanggal 27 November – 30 November 2017 dan berlokasi di Grand-Hyatt Bali.
Sejak didirikan di tahun 2004 silam, setidaknya telah lahir beberapa resolusi penting dari RSPO. Salah satu diantaranya adalah terbentuknya Task Force on Smallholders (TFS) atau Gugus Tugas Petani Kecil di tahun 2006. Adapun mandat dari TFS adalah : pertama, untuk memastikan kesesuaian Prinsip & Kriteria (P&C) RSPO bagi petani kecil dan kedua, membuat usulan-usulan tentang bagaimana cara terbaik menyelaraskan usulan tersebut, baik secara nasional dan/atau secara umum untuk memastikan keterlibatan yang menguntungkan petani dalam produksi minyak sawit berkelanjutan.
Hingga 2010, setidaknya kelompok kerja ini telah membuahkan point kunci yang akan sangat mempengaruhi hajat hidup serta peranan petani di sektor sawit, diantaranya adalah panduan prinsip dan kriteria (P&C) RSPO untuk petani swadaya.
Tantangan di Lapangan
Untuk mendapatkan sertifikasi RSPO, petani wajib mengikuti 8 prinsip dan 39 kriteria. Meskipun dari tahun ke tahunnya RSPO selalu membenahi P&C agar dapat meningkatkan keterlibatan petani, namun masih saja ada kendala bagi pemenuhan P&C tersebut di level petani.
Pertama, aspek legalitas. Aspek legalitas merupakan point yang paling krusial bagi petani. Bagaimana tidak, berdasarkan data dan pengalaman SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) tidak sedikit petani yang belum memiliki bukti tertulis kepemilikan tanah, baik surat kepemilikan lahan (SHM) yang dikeluarkan oleh BPN maupun surat keterangan tanah atau surat girik yang diterbitkan oleh desa, surat tanda daftar budidaya (STDB) atau bahkan surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL). Aspek ini merupakan ‘entry point’ bagi petani yang ‘bermimpi’ mendapatkan label ‘berkelanjutan’. Namun sayangnya, hingga saat ini belum banyak petani yang mampu memenuhi aspek tersebut.
Kedua, aspek lain yang tak kalah penting dan menjadi tantangan bagi petani adalah minimnya pengetahuan petani mengenai good agriculture practices. Tidak adanya pendampingan baik dari pihak pemerintah maupun swasta kemudian menyebabkan petani “minim ilmu” mengenai aplikasi pemupukan, pestisida, pola perawatan, serta mengenai good handling practices (pemanenan).
Ketiga, minimnya lembaga petani (poktan, gapkotan) dan lembaga ekonomi petani (koperasi) diantara petani swadaya. Berkelompok; baik melalui koperasi, gapoktan, maupun bentuk lainnya merupakan syarat formal bagi setiap petani yang ingin memperoleh sertifikasi RSPO. Namun sayangnya, ketersediaan kelompok petani yang solid merupakan tantangan yang kerap ditemui oleh tim SPKS dilapangan. Berdasarkan hasil pengamatan tim SPKS di lapangan, tidak semua petani di level kabupaten maupun desa memiliki dan mau untuk tergabung dalam sebuah kelompok. Jika pun ada, kapasitas keorganisasian petani lemah serta cenderung bersifat ‘kelompok merpati’. Kondisi inilah yang kemudian semakin menyebabkan enggannya petani untuk tergabung dalam sebuah kelompok.
Keempat, minimnya akses informasi. Berbeda dengan petani plasma yang mendapatkan dukungan penuh dari perusahaan, petani swadaya cenderung mengelola perkebunan mereka secara individu. Minimnya informasi yang mereka miliki baik dari tim penyuluh, pemerintah maupun dari pihak swasta pun kemudian berdampak pada pemahaman mereka mengenai pola pengembangan kelapa sawit, implementasi praktik-praktik berkelanjutan, akses financial, tantangan dan peluang dari dalam negeri maupun pasar global dengan adanya penerapan sertifikasi serta bagaimana peran mereka dalam hal konservasi lingkungan sekitar.
Komitmen Bersama
Di Indonesia, industri sawit merupakan industri yang melibatkan banyak pekerja yang berasal dari masyarakat di pedesaan dan menyumbang sekitar U$ 20 milliar per tahun dalam pendapatan ekspor.
Melihat besarnya kontribusi petani swadaya di sektor sawit bagi pendapatan dalam negeri, sudah saatnya pemerintah serius dalam menjalankan kewenangan dan tanggungjawabnya dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani sawit swadaya. Selain itu, diharapkan pemerintah juga mampu melakukan pemberdayaan petani dalam hal pemenuhan prinsip dan kriteria yang diterapkan oleh sertifikasi pasar dunia melalui regulasi maupun tata kelolanya yang pro petani.
Selanjutnya, kedepannya perusahaan juga diharapkan mampu menunjukkan komitmennya dalam hal peningkatan kapasitas petani sawit swadaya ‘beyond’ inti dan plasma yang berlokasi di sekitarnya. Sehingga petani sawit swadaya mampu untuk bersaing dan tidak menjadi aktor yang selalu dirugikan dalam rantai pasok industri ini. (Artikel ditulis, Program Manager Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Dian Mayasari Nasution)
Sumber : http://www.infosawit.com/news/7307/dampak-rt15th-bagi-keberlanjutan-petani-sawit-swadaya