JAKARTA - Pemerintah sampai saat ini telah menerbitkan beragam kebijakan yang harapannya bakal berdampak postif bagi petani kelapa sawit di Indonesia. Namun sayangnya kebijakan itu terkesan tidak tepat sasaran, misalnya saja alokasi dana peremajaan sawit rakyat yang nilainya masih jauh dibanding untuk mendukung pengembangan industri biodiesel sawit nasional.
Merujuk catatan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Jumlah dana yang dihimpun BPDP-KS sejah tahun 2015-2019 tercatat senilai Rp. 51 triliun, dimana sebanyak sebanyak Rp. 47, 28 triliun berasal dari pungutan ekspor sawit dan sebesar Rp. 3,7 triliun, dari pengelolaan dana. Merujuk alokasi penggunaan Dana BPDP-KS pada 2019 lalu tercatat total penggunaan dana dari pungutan ekspor sawit semenjak tahun 2015 hingga 2019 berjumlah Rp. 33,6 Triliun.
Dimana dana untuk peremajaan sawit rakyat hanya mencapai 8,03% atau setara Rp 2,7 Triliun, sementara insentif biodiesel sawit mencapai 89,86% dengan nilai sebanyak Rp 30,2 Triliun. “Argumentasi tentang biodiesel “sebagai penyelamat over supply, sehingga tidak mengganggu harga. Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat jika harga stabil. Program-program BPDP-KS diyakini dapat membangkitkan kelapa sawit Indonesia terlebih khusus Perkebunan Rakyat, untuk kesejahteraan rakyat, rakyat yang mana?” tutur Marselinus Andry, dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
Padahal petani menghadapi tantangan yang tidak sedikit, diantaranya masalah produktivitas, yang menyangkut pengadaan benih sawit unggul, sulitnya memperoleh pupuk bersubsidi, sarana dan prasarana yang masih terbatas serta praktik budidaya yang perlu ditingkatkan.
“Belum lagi masalah pemasaran buah sawit, masalah kelembagaan petani, serta menyangkut data petani yang masih belum jelas, lantaran ada kebun dalam kawasan hutan yang akan memicu konflik kemitraan serta, menyangkut kejelasan legalitas. Belum lagi terkait akses pendanaan, sumberdaya manusia, serta sarana dan prasarana,” katanya dalam sebuah diskusi online yang dihadiri InfoSAWIT, awal Maret 2021 lalu.
Permasalahan tersebut akan terus membelenggu petani, apalagi merujuk survey yang diadakan SPKS tahun 2017 lalu dengan melibatkan 10 ribu petani di 5 Provinsi mencatat, 71% petani belum bergabung dalam kelembagaan petani, sementara sekitar 18% petani sudah bergabung dalam kelembagaan non sawit, sekitar 11% petani bergabung dalam kelembagaan petani.
Lantas, sebanyak 33% petani yang akan melakukan peremajaan pada periode 2017-2022, dan sekitar 67% petani baru akan melakukan peremajaan sawit pada periode 2021-2030 keatas.
Masalah penjualan buah (akses pasar) juga masih menjadi kendala, lantaran masih merujuk survey tersebut, sebanyak 73% petani sawit swadaya masih menjual buah sawitnya ke tengkulak. Dimana sekitar 8% petani sawit menjual buahnya ke Loading Ramp dan CV. Hanya sekitar 2% petani sawit yang menjual buahnya ke Koperasi dan sebanyak 17% yang menjual buah langsung ke pabrik kelapa sawit.
“Padahal penjualan buah langsung ke pabrik akan mampu meningkatkatkan pendapatan petani mencapai 20-30% dari harga TBS saat ini. Karena harga TBSpetani swadaya ditentukan oleh tengkulak. Karena itu, dengan peningkatan pendapatan petani akan memudahkan petani membeli pupuk dan meningkatkan produktivitas serta kehidupan keluarga petani,” kata Marselinus. (T2)
Sumber: https://www.infosawit.com/news/10992/benang-kusut-petani-sawit-yang-mesti-dituntaskan