Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, kita layak memberikan apresiasi bagi penyelenggara negri ini yang telah bertarung dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh Indonesia. Salah satu Tantangan itu adalah terkait perkebunan kelapa sawit Indonesia. Perkebunan Kelapa Sawit sudah hamper 108 tahun di negri ini, sudah lebih tua dari usia kemerdekaan Indonesia. Kelapa sawit tumbuh melewati banyak generasi, melewati hamper semua rezim kekuasaan termasuk pernah hidup dan dihidupkan oleh kolonial Belanda.
Bagaimana dengan petani? Bagaimana mereka memaknai kemerdekaan Indonesia?
Secara resmi, Petani kelapa sawit mengelola perkebunan kelapa sawit dimulai sejak lahirnya program integrasi masyarakat ke dalam perkebunan sawit yang dinamakan program PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Programnya diluncurkan oleh Soeharto pada kurun waktu 1979 sampai dengan 1982. Bentuknya adalah, masyarakat lokal dan masyarakat transmigrasi berasimilasi dalam perkebunan mengelola kelapa sawit. Petani mengelola sekitar 20% lahan dan perusahaan sebanyak 80%. Dalam bentuknya, perusahaan perkebunan akan membangun kebun rakyat (plasma), dan sesudah berproduksi di alihkan ke petani atau koperasi. Selama masa panen, petani menjualnya ke pabrik perusahaan yang telah di ikat dalam kontrak atau Memorandum of Understanding antara koperasi dan perusahaan dan akan dipotong sebesar 30% sebagai potongan kredit. Hingga saat ini, skema kemitraan antara perusahaan dan petani telah berubah-ubah seiring perubahan kebijakan pemerintah, kemauan pihak perusahaan dan lembaga perbank-kan.
Dari sejarah panjang skema kemitraan ini sejak pembentukannya terdapat beberapa catatan dari petani kelapa sawit dan fakta hingga saat ini adalah; belum ada suksestori untuk memandirikan petani kelapa sawit.
Pertama : Presiden Jokowi sudah membuat terobosan untuk pendanaan bagi petani kecil melalui terbentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan. Sampai saat ini, dana yang telah dikumpulkan kurang lebih 11 Trilyun Rupiah. Namun petani masih sulit untuk mengakses dana ini, dikarenakan peraturan dan kementerian teknis yang melaksanakannya lebih berpikir untuk kepentingan perusahaan besar kelapa sawit yang masih ingin menikmati keuntungan dari skema kemitraan. Sehingga, banyak petani yang tidak tertarik dengan skema yang ditawarkan ataupun masih menggunakan beban kredit yang lebih besar.
Kedua : petani-petani swadaya ingin ditarik kedalam skema kemitraan. Menurut petani, cara “menarik kedalam” adalah cara yang tidak benar. Karena petani mandiri/ swadaya tersebut telah hidup lama mengelola perkebunan. Hanya saja, petani mandiri membutuhkan pendampingan dari pemerintah terkait dengan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, herbisida) dan perbaikan jalan perkebunan untuk pengangkutan. Selain itu, fasilitasi petani dalam penjualan TBS yang mana petani swadaya selalu menjual ke tengkulak dengan harga yang lebih rendah dari penetapan pemerintah provinsi.
Ketiga; harga TBS yang masih rendah dan perusahaan sawit terus mengambil keuntungan dari pola penetapan harga kelapa sawit.
Keempat; program reforma agrarian yang ada saat ini, masih belum berpihak pada petani kelapa sawit. Program-program plasma dianggap sebagai bagian dari reforma agraria. Padahal reforma agraria punya makna yang lebih mendalam yakni soal kedaulatan petani atas lahan. Dalam skema kemitraan inti – plasma, petani atau rakyat tidak memiliki kedaulatan di dalamnya bahkan dapat dibilang sebagai “buruh diatas tanah sendiri”.
Kelima; petani-petani mandiri sampai saat ini belum memiliki kelembagaannya. Berjumlah sekitar 3,5 Juta ha yang dikelola hamper 2 juta kepala keluarga petani. Namun, belum ada pendampingan untuk pembangunan kelembagaan bagi petani mandiri agar mereka dapat lebih baik dalam pola budidaya dan posisi tawarnya. Padahal, jika mereka memiliki kelembagaan, akan ada banyak inovasi yang dapat mereka lakukan, harga lebih baik, pembangunan berkelanjutan akan dapat dilakukan.
Keenam; program ISPO belum menawarkan perbaikan untuk transformasi petani kelapa sawit kea rah mandiri, sejahtera dan berkelanjutan. Program ISPO hanya terlihat banyak pertemuan sana-sini tanpa ada perubahan nyata di level akar rumput.
Beberapa hal di atas merupakan refleksi kecil dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah yang lainnya sebagai bagian dari bacaan makna kemerdekaan. Jika kemudian ditanya, apakah petani merasakan kemedekaan? Jawapannya pasti belum.
Karena itu, kedepannya untuk kemajuan Indonesia dan kedaulatan rakyat di dalamnya, sudah semestinya seluruh sumber daya alam termasuk perkebunan sawit dapat sejatinya dikelola oleh rakyat melalui koperasi-koperasi atau kelembagaan desa yang lebih berorientasi pada kemandirian rakyat Indonesia. Dapat kita bayangkan, jika koperasi dan Bumdes bisa membangun pabrik CPO atau Pabrik Minya Goreng? Tentunya, kemerdekaan itu harus membawa kemajuan dan perubahan yang nyata bagi rakyat Indonesia termasuk petani kelapa sawit dalam perkebunan.