SPKS 75 Tahun Indonesia Merdeka, Sekjen SPKS Mansuetus Darto: Petani Sawit Belum Merdeka, Ini Alasannya>
Nasional

75 Tahun Indonesia Merdeka, Sekjen SPKS Mansuetus Darto: Petani Sawit Belum Merdeka, Ini Alasannya

 


Selain karena tata niaga kelapa sawit yang dikuasai para konglomerat dari hulu sampai hilir, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada korporasi besar juga menjadi penyebab terpuruknya nasib petani sawit.

"KPK dan BPK juga harus melakukan audit bagi BPDP-KS dan penerima dana subsidi sawit karena diduga merugikan negara..."

 

JAKARTA - Rakyat Indonesia menyambut usia ke-75 Hari Kemerdekaan pada Senin (17/8/2020). Namun, petani kelapa sawit di Tanah Air belum merasakan kemerdekaan. Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto dalam diskusi virtual dengan tema 'Monopoli Mata Rantai oleh Industri Biodiesel dalam Program B30', Jumat (14/8/2020).

"Setelah 75 tahun merdeka, petani sawit belum merasakan kemerdekaan. Mereka masih belum merasakan kesejahteraan," kata Darto.

Selain karena tata niaga kelapa sawit yang dikuasai para konglomerat dari hulu sampai hilir, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada korporasi besar juga menjadi penyebab terpuruknya nasib petani sawit. Salah satu kebijakan yang tidak berpihak kepada petani sawit, menurut Darto, adalah Program Biodisel 30 Persen (B30). "Program B30 ini diklaim dapat menyerap over supply CPO sehingga tidak mengganggu harga dan memberi kesejahteraan bagi petani sawit," paparnya. Namun dalam implementasinya, jelas Darto, program ini malah menguntungkan korporasi besar melalui pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).

"Ada titipan pasal frasa biodiesel dalam pembentukan badan dana sawit (BPDP-KS) tahun 2015. Padahal frasa ini tidak ada dalam UU No. 34/2014 tentang Perkebunan," lanjutnya. Dia menambahkan, Dewan pengarah BPDP-KS yang ditetapkan melalui permenko Menkoperekonomian No.134/2020 juga terdiri juga dari orang-orang yang juga merupakan pemilik dan terafiliasi dengan perusahan-perusahan sawit besar seperti Sinar Mas, Wilmar Group, Gama Plantation, dan Tri Putra Group.

"Ada ketidakadilan dalam alokasi dana BPDP-KS dan program-program BPDP-KS yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar dan sangat merugikan petani-petani swadaya," imbuhnya. Dalam rentang waktu 2015-2019 realisasi penggunaan dana dari pungutan eskpor sawit berjumlah Rp 33,6 triliun. Sekitar 89.86% dari dana tersebut dialokasikan untuk insentif biodiesel yang sarat kepentingan korporasi besar.


Sedangkan untuk Program Peremajaan Sawit Rakya hanya 8.03%, sisanya dialokasikan untuk Pengembangan dan penelitian, Sarana Produksi Pertanian, Promosi Kemitraan, dan Pengembangan SDM yang tidak sampai 1%. "Presiden perlu meninjau ulang BPDP-KS untuk menjadikan Lembaga yang independent dan tidak terkoptasi oleh konglomerat sawit," tegas Darto. "KPK dan BPK juga harus melakukan audit bagi BPDP-KS dan penerima dana subsidi sawit karena diduga merugikan negara," imbuhnya.


Rantai pasok

Selain alokasi dana BPDP-KS yang tidak adil, Darto juga melihat petani sawit tidak dilibatkan dalam rantai pasok program B30 ini. Rantai pasok untuk program ini dikuasai korporasi besar milik para konglomerat. Wilmar, misalnya dalam pengembangan B20, perusahaan ini memperoleh pasokan dari 83 perusahaan sawit, di mana 3 group perusahaan pemasok berasal dari Malaysia dan 1 group perusahaan dari Srilangka.


"Rantai pasok biodiesel ini  lebih mementingkan pihak asing dan tidak melibatkan petani sawit Indonesia," imbuhnya. SPKS meminta agar pemerintah memasukan petani dalam rantai pasok program B30 ini. Petani diberi tempat menjadi pemasok secara bertahap sebesar 30%  selama 3 tahun sehingga pada tahun ke-4 sebesar 100% dari petani sawit. "Dengan menerima petani dalam rantai pasok biodiesel akan membantu meningkatkan kesejahteraan petani sawit sebesar 30%," paparnya.


Persoalan biodiesel

Ricky Amukti Manager Research Biodiesel Traction melihat ada tiga persoalan dalam industri biodiesel. Pertama, persoalan ekonomi di mana program B30 ini membuat permintaan meningkat tajam sehingga Indonesia  diperkirakan akan menghadapi defisit CPO di tahun 2023. "Petani belum mendapatkan manfaat ekonomi, dan GAP harga antara harga solar dan biodiesel masih tinggi," ujar Ricky.

Kedua, persoalan lingkungan yakni deforestasi lingkungan dan belum ada kewajiban menggunakan methane capture untuk mengurangi polusi. Ketiga, permasalahan sosial yakni terjadinya konflik sosial. "Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh kebijakan dari program biodiesel dari hulu ke hilir untuk mencegah defisit biodiesel, harmonisasi kebijakan kementrian dan Lembaga terkait, serta membuat peta jalan kebijakan biodiesel," jelasnya.

Selain itu, pemerintah juga harus memberlakukan insentif dan subsidi bersyarat kepada perusahaan dengan bermitra dengan petani sawit, serta mempertimbangkan potensi bahan baku biodiesel yang lain.

Paradoks industri sawit

Dalam diskusi webinar ini hadir juga anggota Komisi IV DPR-RI, Ansi Lema. Ansi  mengatakan bahwa ada paradoks di Industri Sawit sampai saat ini di mana petani-petani sawit belum merasakan dampak signifikan dari sawit. Padahal kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggul Indonesia.

Ansi mengapresiasi kebijakan Presiden berkaitan dengan transormasi energi dari fosil menjadi energi terbarukan menggunakan kelapa sawit melalui program biodiesel. Dalam pidato sidang tahunan Presiden tanggal 14 Agustus 2020, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pada tahun 2019 Indonesia telah berhasil memproduksi dan menggunakan B20, dan di tahun 2020, telah mulai dengan B30 sehingga mampu menekan nilai impor minyak di 2019.

Selain itu, Presiden juga mengatakan bahwa program D100, yaitu bahan bakar diesel yang berasal dari 100% kelapa sawit sedang uji produksi dan akan menyerap minimal 1 juta ton kelapa sawit petani untuk kapasitas produksi 20 ribu barel per hari.

"Program biodiesel ini memiliki tujuan yang baik bagi ketahanan energi national. Namun  industri biodiesel ini harus berdampak pada kesejahteraan petani sawit dan tidak menyebabkan permasalahan ekologi akibat ekspansi lahan sawit," ungkapnya.

Dia juga mengingatkan semua stakeholder industri sawit untuk berhati-hati soal monopoli harga sawit oleh perusahaan-perusahaan sawit. "Sudah 75 tahun Indonesia merdeka, namun nasib petani masih memprihatinkan. Negara belum berpihak kepada semua petani, termasuk petani sawit," tutur legislator dari Fraksi PDIP ini.

Kemitraan perusahaan-petani sawit

Sementara Beni Hernedi Wakil Bupati Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, meminta pemerintah pusat mengalokasikan anggaran BPDP-KS untuk fokus pada daerah penghasil sawit dan melibatkan pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan program terkait industri kelapa sawit. "Pemda Banyuasin dalam RPJMD akan terus mendorong kemitraan antara perusahaan dan petani-petani swadaya sebagai langkah untuk untuk stabilisasi harga kelapa sawit," ujar Beni. Dia menambahkan bahwa permasalahan harga yang rendah yang dialami petani disebabkan permasalahan kualitas sawit dan legalitas dari sawit yang berasal dari petani-petani sawit, sehingga perlu menjadi perhatian serius dari semua stakeholder. Kabupaten Musi Banyuasin telah melakukan replanting dimana hingga 2019 telah mencapai 12.380 ha.

"Kami memiliki program hlirisasi komoditas dan komitmen sustainibilty untuk menuju sawit energi baru dan terbarukan dan telah bekerja sama dengan berbagai stakeholder," tuturnya.


Sumber : https://wartakota.tribunnews.com/2020/08/16/75-tahun-indonesia-merdeka-sekjen-spks-mansuetus-darto-petani-sawit-belum-merdeka-ini-alasannya?page=4

Sumber :

Perkembangan Harga TBS

Berita Harga TBS

Agenda

Agenda Lainnya

Link Terkait

Cerita Petani
Selengkapnya