Jakarta, 12 November 2024. Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit di Dunia. Petani kelapa sawit memiliki peran yang cukup signifikan didalamnya dengan mengelola 6,7 juta ha perkebunan kelapa sawit. Namun posisi peting petani kelapa sawit tersebut cendrung sebagai obyek semata oleh pemerintah dan industry kelapa sawit. Akibatnya, petani kelapa sawit hidup dalam kesulitan ditengah gaungnya minyak sawit ini di tingkat global. Pemerintah dan Industri membanggakan sawit sebagai sumber pendapatan negara namun minim perhatian pada petani kecil dan petani plasma.
Kondisi itu terbalik dengan kenyataan. Masih banyak koperasi perkebunan plasma terlilit hutang yang besar akibat pola kemitraan yang tidak adil dan berkonflik dengan perusahaan perkebunan. Selain itu, banyaknya masyarakat tidak mendapatkan alokasi 20% plasma yang diregulasikan oleh pemerintah. Dalam konteks ini, begitu banyak perusahaan tidak memenuhi kewajibannya untuk membangun kebun masyarakat seluas 20% dari luas konsesi perusahaan. SPKS mencatat kurang lebih 35% perusahaan tidak membangun plasma untuk masyarakat sekitar. Selain itu, petani mandiri skala kecil tidak diberdayakan oleh perusahaan besar. Padahal petani-petani kecil tersebut berada di sekitar perusahaan-perusahaan besar tersebut yang tidak taat pada peraturan kemitraan perkebunan. Akibatnya, petani sawit mandiri tersebut, terus menerus kehilangan pendapatan 30% setiap bulan akibat digempur oleh tengkulak yang mengatur harga.
Munculnya EUDR (Eropean Union Deforestation Regulation), membawa angin segar bagi petani kelapa sawit di Indonesia. Serikat Petani Kelapa Sawit, memandang bahwa EUDR menjadi stimulus perbaikan tata Kelola perkebunan yang menghormati hak-hak asasi petani kelapa sawit skala kecil. Namun harapan petani kecil tersebut dibungkam oleh keputusan penundaan EUDR hingga 2026 mendatang.
Sabarudin, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit menyebutkan; penundaan EUDR tersebut sama seperti menunda penyelamatan petani kelapa sawit yang sedang berkonflik dengan perusahaan, juga menunda resolusi konflik dengan masyarakat hukum adat yang tanahnya digusur oleh perkebunan besar. Begitu banyak petani skala kecil yang miskin terpupus harapannya untuk menikmati keuntungan dari bisnis sawit dan Selamat dari jeratan tengkulak yang selama ini bekerjasama dengan korporasi.
SPKS mendorong agar tidak adanya negosiasi antara EU dan negara-negara penghasil sawit secara terselubung. EU harus transparan dan membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil dan Petani skala kecil yang terdampak agar kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah EU membawa dampak positif bagi masyarakat akar rumput. Tidak boleh melemahkan requirement bagi industry sawit. Pelemahan persyaratan dalam EUDR hanya akan membuat industry sawit tersebut makin bebas dan semena-mena bagi petani kecil di Daerah, tegas Sabarudin.
Sebagaimana diketahui, Serikat Petani Kelapa Sawit mendukung EUDR karena telah menyiapkan polygon kebun dan titik kordinat untuk kebun-kebun anggotanya. SPKS menganggap, anggotanya dapat comply dengan requirement EUDR dan berhak mendapatkan akses ke pasar Uni Eropa. Ini sekaligus mematahkan argumentasi industry dan pemeirntah Indonesia, bahwa petani kecil tidak mampu memenuhi standar EUDR. Jadi tidak ada alasan apapun untuk menunda atau melemahkan EUDR.
Tentang SPKS:
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) adalah organisasi petani kelapa sawit di Indonesia yang berkomitmen untuk memperkuat skala keberlanjutan, kesejahteraan dan kemandirian petani melalui pembangunan kapasitas, kelembagaan ekonomi dan fasilitasi akses petani. SPKS mempunyai anggota petani sebanyak 76.700 orang yang tersebar di 10 provinsi, 21 kabupaten di 419 desa. SPKS fokus mendukung perbaikan tata kelola kelapa sawit berkelanjutan di tingkat petani. SPKS memiliki komitmen untuk sertifikasi ISPO dan RSPO pada anggotanya.
Kontak Media :
Sekretariat Nasional SPKS :
Tel: 0251-8571263
Email:info.spksnasional@gmail.com
Website: www.spks.or.id