Jakarta, 20 April 2017- Parlemen Eropa dalam sidang pleno tanggal 4 April 2017 menyepakati resolusi tentang minyak kelapa sawit dan deforestasi hutan. Resolusi tersebut mendapat reaksi berlebihan dari pihak pemerintah dan DPR. Reaksi terhadap resolusi tersebut bahkan menjadi tanggung jawab lintas Kementerian di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian. Bahkan dalam perkembangan di dalam negeri, yang dilakukan oleh elit-elit politik seperti anggota DPR jauh dari substansi dan berujung pada kepentingan perebutan kekuasaan. Tidak berurusan sama sekali dengan krisis lingkungan hidup dan persoalan yang dialami oleh rakyat. Respon dari pejabat publik ini menjadi tameng bagi korporasi untuk berlindung menutupi kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan dalam rantai pasok bisnisnya selama ini.
Respon dari pemerintah mengabaikan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, bahwa watak dan praktek perkebunan besar kelapa sawit di Indonesia begitu buruk, melahirkan berbagai konflik dengan masyarakat, melanggar HAM melalui perampasan tanah, militeristik, melanggar hak-hak buruh, termasuk mempekerjakan anak di perkebunan mereka. Praktek ekspansif dan eksploitatif krisis lingkungan hidup yang sulit terpulihkan. Deforestasi dan kebakaran adalah bukti yang paling nyata dari praktek buruk industri perkebunan besar kelapa sawit, ungkap Abdul Wahid dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI mengatakan “kita berharap pemerintah tidak menutup mata atas fakta ini dan berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi, karena ini akan menjadi preseden buruk bagi upaya pembenahan tata kelola SDA khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan dan upaya penegakan hukum yang tengah dijalankan pemerintah dan berbagai komitmen Presiden Jokowi lainnya, seperti moratorium dan pemulihan ekosistem gambut.
Hal penting lainnya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan audit terhadap perusahaan, menertibkan HGU dalam kawasan hutan dan perkebunan sawit tanpa HGU dan segera menerbitkan kebijakan moratorium sawit, ujar Maryo Saputra Sanudin dari Sawit Watch.
Mansuetus Darto dari Serikat Petani Kelapa Sawit mengatakan bahwa resolusi ini harusnya dapat mendorong pemerintah untuk membuat peta jalan pengelolaan sawit utamanya bagi petani, disertai dengan kemudahan akses perbankan dan pembinaan untuk meningkatkan produktifitas dan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas. Kita tahu, selama ini petani sawit hanya selalu dijadikan legitimasi, baik oleh korporasi dan para pendukung industri sawit.
Pada akhirnya kami memandang, dari pada menjadikannya sebagai komoditas politik di dalam negeri dan menyalahkan pihak lain, lebih baik resolusi ini menjadi pemicu untuk melakukan perubahan mendasar terhadap tata kelola perkebunan sawit. Nol deforestasi dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit disertai penegakan hukum yang tegas terhadap korporasi sawit yang selama ini telah banyak melakukan pelanggaran hukum, serta tidak ada lagi pelanggaran HAM dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, baik terhadap masyarakat adat, petani maupun buruh yang bekerja di perkebunan. Kami juga mendorong agar HGU perkebunan perusahaan yang telah selesai masa izin maupun yang bermasalah, segera diambilalih oleh negara dan diredistribuskan kepada rakyat sebagai bagian dari percepatan pelaksanaan reforma agraria.(selesai)
Untuk informasi selanjutnya dapat menghubungi:
1. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI di 081290400147
2. Maryo, Sawit Watch di 085228066649
3. Mansuetus Darto, Presiden SPKS di 081314605024
4. Abdul Wahid, Transformasi untuk Keadilan Indonesia di 081381464445
Catatan untuk Editor:
1. Parlemen Eropa dalam sidang pleno tanggal 4 April 2017 menyepakati resolusi tentang minyak kelapa sawit dan deforestasi hutan. Resolusi yang terdiri dari 25 poin pertimbangan dan 60 poin rekomendasi tersebut mendapat mayoritas dukungan 640 suara, 18 menolak dan 28 abstain. Resolusi ini belum menjadi kebijakan yang mengikat karena harus di sampaikan dulu kepada Komisi Eropa.
2. Tanggal 17/4 lalu menteri perdagangan bahkan mengundang korporasi besar di sektor kelapa sawit untuk berkumpul membahas reaksi terhadap resolusi tersebut. Terhitung 10 CEO dan Komisaris korporasi sawit yang diundang, mereka antara lain; Tumannggor (Komisaris Wilmar Group), Kelvin Tio ( Managing Director Asian Agri), Bachtiar Karim (Chairman Musim Mas Group), Soetjahjono Winarko (Komisaris Sampoerna Group), Franky Wijaya (CEO Sinar Mas Group), Peter Sondakh (Rajawali Group), Gunawan Lim (CEO Harita Group) Franciscus Welirang (Indo Agri), Arif Rahmat (CEO Triputra Agro Persada) dan Widya Wiryawan (PT Astra Agro Lestari).
3. Namun tidak ada satupun perwakilan dari pihak petani kecil maupun buruh berkebunan diminta pendapatnya meski pemerintah dan DPR mengklaim bahwa resolusi parlemen eropa tersebut berdampak besar pada penghidupan petani dan buruh perkebunan.
4. Lebih dari satu abad perkembangan Sawit di Indonesia namun banyak persoalan belum terselesaikan. Perkebunan sawit masih dikuasai oleh korporasi besar, sekitar 25 grup usaha kelapa sawit menguasai 3,1 juta hektar lahan kebun kelapa sawit di Indonesia. 3,1 juta hektar sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia yaitu sebesar 10 juta hektar. Total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS. Atau setara dengan 45 persen APBN Indonesia pada tahun 2014 (TUK,2014)
5. Disisi lain konflik masih terus terjadi, sepanjang 2016, Konsorsium Pembaruan Agararia mencatat 450 konflik agraria dengan luas 1.265.027 hektar. Perkebunan menduduki peringkat tertinggi, dengan 163 konflik atau 601.680 hektar, terbanyak di perkebunan sawit.
6. Sawit Watch mencatat pada tahun 2015 jumlah buruh yang bekerja di perkebunan sawit mencapai 10,4 juta orang dimana 70 % dari buruh tersebut berstatus sebagai buruh harian lepas dengan karakteristik yang eksploitatif karena tidak adanya kepastian kontrak, keamanan kerja yang memadai, dan gaji yang rendah. Itulah sebabnya meskipun menciptakan lapangan kerja namun daya serap pekerjaan di perkebunan kelapa sawit tidak mampu mengentaskan kemiskinan namun justru mereproduksi kemiskinan (Li, 2015). Rata-rata buruh perkebunan sawit mendapat gaji kurang dari 1 juta rupiah per bulan. Jika dihitung berdasarkan harga per ton CPO misalnya 700 dolar dikurangi upah buruh panen (20 dolar), dikurangi upah buruh kebun (5 dolar), dikurangi upah supir truk (0,5 dolar), dikurangi upah buruh pabrik pengolahan (1 dolar), dikurangi upah buruh kantor (2 dolar), maka jumlah yang didapat oleh perusahaan mencapai (671.5 dolar) bandingkan dengan total upah buruh yang hanya (28.5 Dolar). Inilah yang menyebabkan daya sektor ini menarik bagi investor karena keuntungan yang berlipat. Namun tentu saja ini mengabaikan eksternalitas atau dampak produksi komiditas ini terhadap lingkungan hidup dan sosial masyarakat.
7. Ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015, Walhi mencatat mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168. 67 perusahaan di wilayah konsesi perkebunan sawit tersebut merupakan penyuplai group perusahaan antara lain Sinarmas, Wilmar, Sampoerna, Marubeni, Cargil, Simederby. Bencana asap ini mengakibatkan kerugian dari sisi kesehatan dan ekonomi. Jumlah kerugian diperkirakan mencapai 200 trilyun rupiah. Sedangkan proses penegakan hukum terhadap perusahaan tidak bisa tuntas, hanya menyasar pemain kecil bukan pada pemain besar perkebunan kelapa sawit. WALHI Riau mencatat 1,8 juta hektar sawit Riau illegal berada di kawasan hutan.
8. Dalam resolusi sawit parlemen eropa disebutkan bahwa mereka menyadari bahwa sektor energi menjadi sektor yang menyebabkan 60% dari total impor minyak kelapa sawit Uni Eropa, dari jumlah itu 46% digunakan untuk bahan bakar. Untuk mencukupi itu dibutuhkan sekitar 1 juta hektar lahan di Negara tropis, untuk itu mereka mendesak komisi eropa untuk mengeluarkan sawit sebagai komponen biofuel pada tahun 2020.
9. Kemudian juga disebutkan bahwa adanya kontribusi positif dari mekanisme sertifikasi yang ada, RSPO dan ISPO namun belum secara efektif melarang anggotanya untuk tidak melakukan deforestasi dan pembukaan lahan gambut untuk perkebunan sawit karena sifatnya yang sukarela, oleh sebab itu dibutuhkan satu sertifikasi sendiri yang berlaku di eropa yang bersifat mengikat bagi sawit yang masuk ke pasar eropa disertai dengan hukuman jika tidak sesuai dengan sertifikasi tersebut.
10. Meskipun demikian mendukung kebijakan pemerintah untuk melakukan moratorium ekspansi perkebunan sawit utamanya di lahan gambut dan pembentukan Badan Restorasi Gambut untuk melakukan restorasi terhdap 2 juta hektar lahan gambut yang rusak akibat kebakaran hutan. Penghentian pemberian ijin perkebunan sawit baru dan dukungan untuk melakukan tata kelola sawit utamanya bagi pelaku skala kecil.