Siaran Pers

SIARAN PERS PELAPORAN ATAS DUGAAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PADA INDUSTRI BIODIESEL INDONESIA

 

SIARAN PERS

SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT (SPKS)

PELAPORAN ATAS DUGAAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PADA INDUSTRI BIODIESEL INDONESIA

Jakarta, 15 Maret 2022 - Pada hari Rabu Tanggal 15 Maret 2022, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Koperasi Karya Mandiri dan Koperasi Perkebunan Renyang Bersatu bersama tim Advokasi Keadilan Perkebunan telah melaporkan dugaan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU), yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT SMART, Tbk dan PT Musim Mas sebagai Para Terlapor.

Menurut koordinator kuasa hukum PELAPOR, Janses E. Sihaloho, terdapat beberapa perbuatan perusahaan yang diduga terkait dengan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yakni oligopsoni dan/atau integrasi vertikal terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel.

Janses menambahkan bahwa, mekanisme penunjukan langsung terhadap jumlah alokasi biodiesel hanya ditujukan kepada Para Terlapor melalui anak-cucu perusahaannya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 1935K/10/MEM/2018, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 2018k/10/MEM/2018, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 195K/10/MEM/2020 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 252.K/10/MEM/2020 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar.

Indikasi lain yang disampaikan Janses adalah adanya peningkatan lahan kelapa sawit setiap tahun milik para terlapor yang melampaui 100 ribu hektar menurut aturan. Peningkatan lahan ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan pasar terhadap pasok TBS Sawit. Seharusnya kesejahteraan para pekebun swadaya dan pekebun kemitraan-pun juga semakin meningkat, namun faktanya tidak demikian. Masih banyak pekebun swadaya dan pekebun kemitraan yang dirugikan atas harga jual TBS sawitnya. Hal tersebut diduga telah memenuhi unsur pada Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UU No. 5/1999 yakni penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Selain itu, tim Pelapor juga menyoroti penggunaan dana kelapa sawit yang tidak sesuai dengan UU Perkebunan. Diketahui, bahwa total Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola oleh BPDP-KS sejak tahun 2015-2019 sebesar Rp. 47,28 triliun. Mayoritas total dana ini dialokasikan bukan untuk kepentingan petani, melainkan industri biodiesel. Ketimpangan alokasi itu tergambar jelas pada realisasi anggaran pada 2015-2019, di mana 89,86% dari total dana atau sebesar Rp30,2 triliun dialokasikan untuk insentif biodiesel. Ironisnya, saat pandemi Covid-19 mulai merebak, pemerintah menggelontorkan dana subsidi sebesar Rp2,78 triliun untuk biodiesel.

Dari berbagai uraian di atas, laporan Pelapor kepada KPPU cukup berdasar dan beralasan. PARA TERLAPOR diduga telah melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yakni oligopsoni dan/atau integrasi vertikal sesuai Pasal 13 dan Pasal 14 UU 5/1999 ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU).

Gunawan dari Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) berharap bahwa laporan ini tidak hanya membongkar praktik oligopsoni dalam biodiesel, tetapi juga melihat ketidakadilan rantai pasok sawit secara keseluruhan, yang juga berimbas pada ketersediaan produk makanan, seperti krisis minyak goreng yang terjadi akhir-akhir ini.

Syahrul Fitrah dari Greenpeace Indonesia juga mengemukakan hal yang sama. Baginya, laporan ini bernilai strategis bagi petani yang selama ini dirugikan. Syahrul menilai, penguasaan sektor hulu dan hilir oleh segelintir perusahaan kian meminggirkan posisi petani. Dominasi perusahaan ini didukung oleh kebijakan yang melahirkan privilese. Hasil riset Greenpeace Indonesia di Papua menunjukkan hal itu. Selain prosedur perijinan dilanggar, terdapat pula perijinan bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan. Ia menilai minimnya kebijakan pemerintah terkait biodiesel berimbas pada pangan. Dalam persiangan usaha, mestinya industri berkompetisi secara sehat.

Marcelinus Andri dari SPKS menilai, terkait sisi anggaran, hampir 90% dana BPDPKS untuk biodiesel dan sebagian besar disalurkan ke 3 perusahaan terlapor. Padahal perkebunan rakyat menguasai 40% sawit nasional. Dalam Subsidi untuk biodiesel bagi perusahaan tersebut mengangkangi peraturan. Dalam UU Perkebunan, tidak ada mandat agar dana sawit dialokasikan bagi biodiesel. Terkait ketimpangan lahan, ia menilai, ada kewajiban bagi perusahaan untuk membangun kebun dengan prosentase 20%, namun aturan ini juga tidak dipenuhi. Ini memperkuat monopoli penguasaan lahan oleh perusahaan.

Edy Sutrisno, Direktur TUK Indonesia, menilai, terkait laporan ini, KPPU seharusnya bisa dengan mudah menelusuri hal ini, karena KPPU memang sudah memiliki banyak kajian yang mengindikasikan adanya monopoli dari segelintir perusahaan tersebut. Selain penguasaan lahan, yang melampaui regulasi pengelolaan sebesar 100 ribu hektar, perusahaan tersebut juga menguasai supplier buah, sehingga mereka dengan mudah mengatur harga TBS di level petani. Gunawan menilai potret realisasi anggaran BPDPKS yang timpang juga menggambarkan ruang penentuan kebijakan yang minim bagi petani. Hal ini mengonfirmasi struktur BPDPKS yang didominasi oleh orang-orang perusahaan.

Terhadap laporan ini, Kuasa Hukum Pelapor, Sdr. Janses, mengharapkan agar KPPU dapat mengeluarkan denda yang optimal, bila perlu pencabutan usaha bagi perusahaan yang jelas-jelas melakukan praktik monopoli. Selain itu, diharapkan, KPPU dapat mendorong agar terjadi perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang lebih pro terhadap petani. Gunawan dari Dewan Nasional SPKS berharap ke depan, kebijakan di perkebunan sawit perlu mengubah petani untuk tidak hanya sebagai aktor budidaya, tetapi juga pengelola buah. Syahrul dari Greenpeace Indonesia berharap, laporan ini tidak hanya membuka ketidakadilan dalam hal ekonomi, tetapi juga dampak buruk bagi lingkungan. Tindakan perusahaan dalam mengekspansi lahan membawa dampak pada deforestasi hutan, sehingga aturan dalam UU Cipa Kerja yang memberikan pengampunan kepada perusahaan yang beroperasi dalam kawasan hutan dapat dibenahi segera.

 

Tentang SPKS:

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) adalah organisasi petani kelapa sawit di Indonesia yang berkomitmen untuk memperkuat skala keberlanjutan, kesejahteraan dan kemandirian petani melalui pembangunan kapasitas, kelembagaan ekonomi dan fasilitasi akses petani. SPKS saat ini berada di 11 Kabupaten dan 7 Provinsi yang memiliki perkebunan sawit: Kabupaten Labura, Rokan Hulu, Siak, Pelalawan, Kuansing, Tanjabar, Sanggau, Sekadau, Sintang, Paser, Kobar dan Seruyan.

Kontak Media :

Marcelinus Andry – Kepada Departemen Hukum dan Advokasi

Sekretariat Nasional SPKS :

Tel: 0251-8571263

WA: 0822-7488-6619

Email:info.spksnasional@gmail.com

Website: www.spks.or.id

 


Lainnya

Perkembangan Harga TBS

Berita Harga TBS

Agenda

Agenda Lainnya

Link Terkait

Cerita Petani
Selengkapnya