Launching dan Bedah Buku
Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat Dalam Bisnis Biodiesel
“Oligarki Mencengkram Proyek Biodiesel”
Jakarta, 31 Januari 2022 – Alokasi dana sawit yang tidak adil pada sector kelapa sawit dan pemberian subsidi bagi segelintir korporasi sawit besar tidak lepas dari pengaruh oligarki dan orang kuat dalam bisnis sawit dan biodiesel. Pengaruh oligarki dan orang kuat dalam industri biodiesel tergambarkan dalam struktur komite pengarah BDPKS yang menempatkan perwakilan kelompok korporasi besar sebagai unsur professional yang memiliki kekuatan untuk mengatur serta mengontrol penggunaan dan pengalokasian 137,283 triliun dana sawit yang dikelola BPDPKS sejak tahun 2015 hingga tahun 2021. Sementara perwakilan petani yang menguasai 41 persen kelapa sawit Indonesia, dalam struktur BPDPKS hampir tidak dilibatkan.
Lebih lanjut, dalam catatan akhir BPDPKS tahun 2021, menunjukkan alokasi dana sawit dalam periode tahun 2015-2021 untuk subsidi biodiesel mencapai 110,05 Triliun (80,16 persen). Sementara alokasi untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebesar 6,59 triliun (4,8 persen), program penelitian dan pengembangan 389,3 miliar, untuk program pengembangan SDM sebesar 199,01 miliar, sebesar 21,1 Miliar untuk program Sarana dan Prasarana dan sebesar 318,5 miliar untuk program promosi, advokasi dan kemitraan sawit.
Ferdy Hasiman, Penulis Buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat Dalam Bisnis Biodiesel, mengungkapkn salah satu inti persoalan yang terjadi dalam program biodiesel terdapat pada sisi pembagian kuota yang menunjukkan terjadinya kolusi.
Lebih lanjut Ferdy mengatakan bahwa industri sawit berbeda dengan industri besar lainnya, dimana monopoli perusahaan besar tidak terlalu besar. Dari aspek kepemilikannya lahan, sebesar 51 persen dimiliki oleh grup grup besar nasional dana sing dan 7 persen oleh BUMN dan 40 persen lahan dimiliki petani sawit (tahun 2018). Begitu juga dari aspek produksi dan produktivitas menunjukkan bahwa petani sawit memiliki andil untuk mendorong produksi CPO nasional dan pertumbuhan ekonomi di tanah air. Jika diperhatikan secara keseluruhan, perkebunan sawit rakyat bisa menjadi tumpuan penerimaan negara dan menjadi penopang disektor hilir dalam mendorong biodiesel berkelanjutan. Sehingga sawit untuk pengolahan biodiesel semestinya bukan hanya dipasok dari produsen produsen biodiesel yang sudah ditentukan kuotanya oleh negara tetapi juga dari petani swadaya.
Namun realitanya nasib petani dan korporasi sangat berbeda, kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit dan selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan politik, dan ini yang disebut kekuatan oligarki dan bisnis orang kuat. Pemerintah hanya memberikan kuota kepada 18 perusahaan sawit. sementara ruang bagi petani sawit untuk menjual ke korporasi yang mendapat alokasi tersebut sampai sekarang sangat tidk jelas. Jadi dalam proses lelang juga tidak ada transparansi dalam prosesnya hanya ada penunjukan langsung untuk mendapatkan kuotanya, sehingga kolusinya terjadi dalam proses tersebut.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak memberi kuota kepada petani dan perusahaan-perusahaan kecil, dan jawaban pemerintah karena infrastruktur, tapi faktanya masih banyak perusahaan yang mendapat kuota belum memiliki pabrik biodiesel, begitu ada program biodiesel baru mereka membangun pabrik yang diproleh dari dana BPDPKS, kata Ferdy.
Program biodiesel juga masih menyisahkan persoalan di lapangan terutama dalam pemakaian biodiesel masih ada hambatan dalam distribusi di lapangan. Di sector hulu, semakin meningkat proyek biodiesel maka lahan yang akan diambil akan semakin luas yang berdampak pada deforestasi.
Mansuetus Darto, Sekjen SPKS Nasional sekaligus Penulis Buku mengungkapkan beberapa fakta yang dapat menjawab ada apa dibalik program biodiesel. Dalam aspek regulasi, penggunaan dan pemanfaatan dana BPDPKS untuk biodiesel patut dipertanyakan karena tidak memiliki payung hukum yang kuat terutama dalam Undang-Undang Perkebunan yang hanya mengamanahkan penggunaan dana sawit untuk petani.
Darto juga mengungkapkan, pengaruh oligarki dan orang kuat dalam bisnis biodiesel dapat dilihat dalam penentuan alokasi prioritas penggunaan dana sawit yang ditentukan oleh komite pengarah dalam BPDPKS. Dimana keanggotaan komite pengarah memasukkan keterwakilan dari kalangan pengusaha sawit yang juga beroperasi pada bisnis biodiesel sebagai tenaga profesional.
Fakta ini menunjukkan bahwa pengaruh oligarki dan orang kuat dalam Komite Pengarah BPDPKS turut mengontrol penggunaan dana sawit yang lebih besar untuk subsidi biodiesel.
Fakta lain menunjukkan, fasilitasi negara dalam hal ini pemerintah mengambil kebijakan pungutan dana dari ekspor sawit yang pada akhirnya sebagian besar untuk subsidi biodiesel menunjukkan pengaruh dari oligarki. Padahal kebijakan pungutan yang berubah ubah dan terus meningkat mengakibatkan kerugian pada harga sawit di tingkat petani.
Selain itu, pengaruh oligarki dan orang kuat dalam pengambilan kebijakan negara juga turut menghambat inklusifitas petani dalam pengembangan biodiesel dan terutama rantai pasok biodiesel. Hal ini juga terjadi pada struktur BDPKS yang minim keterwakilan petani
Faisal Basri, Ekonom Senior Indonesia, dalam acara launching dan Bedah Buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat dalam Bisnis Biodiesel di Kekini Workspace, mengatakan kami menghitung dampak dari penggunaan biodiesel bagi penghematan APBN itu sama sekali tidak terbukti. Kebijakan subsidi biodiesel ini mengulang kebijakan subsidi untuk solar dulu, yang ongkos keekonomiannya sangat tinggi. Artinya, kebijakan subsidi ini hanya berpindah dari yang dulunya subsidi solar untuk produsen minyak luar negeri ke subsidi biodiesel untuk pengusaha biodiesel dalam negeri.
Tujuan penggunaan biodiesel untuk memperbaiki transaksi perdagangan dengan mengurangi impor solar, sehingga neraca perdagangannya membaik, menurut Faisal, kebijakan ini salah, karena pengurangan impor solar dengan digantikan dengan biodiesel maka ekspor CPO juga turun. Seharusnya dampaknya ini perlu dihitung,
Faisal juga mempersoalkan klaim pengusaha yang menilai dana yang dikelola BPDPKS merupakan dana dari pengusaha sawit lewat potongan ekspor dan harus dikelola pengusaha. Menurut Faisal, klaim ini sesuatu yang sangat keblinger, seolah-olah ada negara di dalam negara. Menurut Faisal, sebanyak 40 persen dari dana sawit itu justru dari sawit rakyat, oleh karena itu harus ada ketidakterwakilan petani secara resmi dalam struktur BPDPKS, untuk mengarahkan kepada program peremajaan sawit dan program lainnya.
Lebih lanjut kata Faisal, Pemerintah belum peka terhadap keberpihakannya pada sector sawit yang terdapat jutaan rakyat di dalamnya, dimana setiap ekspor sawit terdapat kebijakan pungutan ekspor dan juga pajak ekspor dalam UU Bea Cukai, dimana kebijakan pajak ekspor ini merugikan petani karena pengekspor tidak mau labanya turun, semakin tinggi pajak ekspor semakin turun harga sawit di tingkat petani karena struktur pasarnya oligopoly. Jadi petani kena pajak ekspor dan pungutan ekspor.
Faisal juga mengatakan bahwa pengusaha bisnis biodiesel dijamin tidak pernah rugi. Karena ketika harga sawit naik, maka komponen dari biofuelnya juga naik dikaitkan dengan internasional, maka akan mendapatkan dari dana sawit supaya tidak rugi. Bahkan sebelum covid, pengusaha biodiesel juga mendapatkan subsidi dalam program PEN, dari APBN sebesar 2,67 triliun.
Benny Kabur Harman, Anggota DPRRI, mengatakan bahwa dari sudut pandang politik, gagasan tentang pengembangan biodiesel sudah disampaikan oleh Presiden sejak kampanye pemilu dan pidato kenegaraan di MPR dan DPR, yang semata-mata hanya untuk menyenangkan para oligarki atau orang-orang kuat yang berkepentingan di dalamnya.
Pengembangan biodiesel ini juga mengandung masalah ditengah persoalan kelapa sawit di sector hulu, dimana terdapat jutaan hektar dalam kawasan hutan lindung. Akan tetapi, Pemerintah atau negara terkesan membiarkan hutan lindung kita dirambah oleh kekuatan modal di sector kelapa sawit.
Menurut Benny Harman, yang ditakutkan pada saat ini dan ke depan adalah kekuatan modal dari segelintir orang kuat dari bisnis sawit dan biodiesel ini ikut mempengaruhi demokrasi electoral yang kita jalankan. Demokrasi electoral yang dijalankan itu ditentukan oleh orang-orang kuat yang memiliki modal besar dari bisnis sawit yang berada didaerah penghasil sawit, maka orang-orang kuat ini akan ikut menentukan pemimpin-pemimpin lokal di daerah sawit. Mereka bisa membentuk konsorsium atau sindikasi politik yang istilah politiknya disebut oligarki tadi, untuk membiayai seorang kepala daeerah hingga berhasil menjadi pemimpin dengan menyiapkan infrastuktur politiknya. Sehingga ada konflik kepentingan. Sehingga ketika kepala daerah terpilih tadi akan disodorkan surat komitmen atau kontrak politik yang akan mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemimpin daerah baik langsung atau tidak langsung untuk lebih menguntungkan kelompok kelompok tersebut. Di sinilah tidak terjadi persaingan sehat di dalam bisnis sawit ini. Ini terjadi pada tingkat daerah kabupaten kota dan juga provinsi. Dan bukan tidak mungkin, karena sumber dari kekuasaan ini juga dari pusat maka, ini nanti juga merambah ke tingkat nasional, dimana pemimpin nasional bukan tidak mungkin juga akan ditentukan oleh pengusaha pengusaha yang membentuk konsorsium untuk membiayai seseorang menjadi presiden.
Sehingga tidaklah heran, banyak kepala daerah pada saat ini yang terjebak pada masalah hukum karena membuat kebijakan yang pro terhadap kelompok pengusaha yang mendukung yang bersangkutan menjadi kepala daerah bupati walikota atau gubernur , bahkan presiden sekalipun.
Lebih lanjut, mengapa peraturan peratiran atau regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak jalan. Bisa jadi substansinya lebih pro kepada kepentingan oligarki dan yang kedua pelaksanaannya yang tidak jalan karena mendapatkan protes dari masyarakat atau kelompok-kelompok yang tidak ingin ada monopoli yang dipegang oleh sekelompok pengusaha di sector bisnis ini.
Saya melihat masalah biodiesel ini, kekuatan oligarki atau monopoli disitu tidak semata-mata soal bisnis, tetapi yang kita takutkan itu adalah kelompok kekuatan raksasa bisnis sawit ini juga akan menentukan arah politik kita ke depan dan juga akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ke depan, sehingga pemimpin yang dipilih apakah itu presiden, gubernur, bupati atau walikota akan menjadi boneka kaum oligarki. Dan disitulah tahapan perkembangan demokrasi menurut saya dirampok oleh oligarki ini dan lebih berbahaya lagi jiaka, pemimpin yang berhasil mereka usung akan didikte dalam menyusun regulasi, aturan atau kebijakan yang pro terhadap kepentingan mereka, Ini merupakan realitas yang kita hadapi pada saat ini. Dampak oligarki ini tentu saja menyasar pada aspek aspek lainnya juga sseperti masalah lingkungan hidup.
Secara normative payung hukum penting, namun hukumpun bisa ditentukan isinya dengan kepentingan oligarki tanpa transparan, partisipatif, dan membela dan mendukung kepentingan para petani. Tidak mungkin ada aturan hukum yang sengaja dibuat untuk mengurangi keuntungan pengusaha besar dan menguntungkan petani.
Meskipun ada agenda seringkali muncul dalam pidato untuk kebijakan yang pro petani, itu hanya PHP saja. Sehingga jangan terlalu berharap pada hukum seolah-olah solusi dari segala masalah kita, yang paling penting itu adalah komitmen pememimpin yang lahir dari produk demokrasi yang genuine. Bukn hasil rekayasa kelompok oligarki atau pemodal besar. Saya rasa ini agenda politik kita ke depan bagaimana demokrasi electoral ini benar-benar menjamin munculnya pemimpin-pemimpin yang komitemen terhadap kepentingan para petani terutama petani sawit. Pada tingkat legislative, perubahan politik akan bermuara pada perubahan kebijakan danharapannya akan mengakomodir kepentingan petani.
Informasi lebih lanjut, hubungi:
Intan : 082281282893