SIARAN PERS
SERIKAT PETANI KELAPA SAWIT (SPKS)
PETANI SAWIT : MERESPON PERNYATAAN PAK MENKO MARVES, AKAN MELAKUKAN AUDIT PERUSAHAAN KELAPA SAWIT INDONESIA
Bogor, 27 Mei 2022, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) memberikan sejumlah catatan mengenai rencana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia - Luhut Binsar Panjaitan untuk melakukan audit seluruh perusahaan di industry perkebunan kelapa sawit. Langkah untuk lakukan audit ini sangat diperlukan dan Pemerintah diharapkan betul-betul serius dan menjangkau seluruh persoalan yang ada di industry sawit. Karena langkah tersebut sebagai bentuk keseriusan Pemerintah memperbaiki tata kelola industri sawit pada sector hulu dan hilir.
Mansuetus Darto, Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan bahwa, “langkah audit yang akan dilakukan Menko Marves seharusnya tidak saja berfokus pada persoalan perizinan, tetapi mencakup semua permasalah laten yang ada di lapangan saat ini.
Lebih lanjut, Darto mengatakan bahwa, Pembenahan tata kelola industry perkebunan sawit di tanah air tidak berhenti pada persoalan legalitas seperti perizinan, HGU dan plasma. Industry sawit nasional juga menjadi perhatian dunia internasional terutama menyangkut keberlanjutan terutama pada aspek lingkungan yang menyangkut masalah deforestasi dan kebakaran lahan dan hutan. Ini yang masih absen dilakukan. Pembenahan system perkebunan kelapa sawit harus datang dari komitmen Pemerintah sendiri terutama dalam hal penyusunan kebijakan dan aturan diikuti langkah audit dan evaluasi terhadap kepatuhan pelaku usaha di sector industry sawit.
“Kami mencontohkan misalnya soal data perkebunan sawit rakyat masih memiliki masalah, data yang di keluarkan oleh kementerian pertanian pada tahun 2019 luas perkebunan sawit rakyat di bawah 25 hektar ada 6,7 juta hektar, dan tahun 2022 ini dari Lembaga Auriga telah merilis data untuk petani sawit rakyat hanya 2,3 juta hektar. Artinya ini kan masih banyak yang memiliki lahan diatas 25 hektar kemudian mengatasnamakan sebagai petani sawit, ini tentunya butuh evaluasi juga agar pemilik lahan diatas 25 hektar wajib IUP dan memiliki HGU. Dan pembenahan sawit rakyat yang masih bersoal dalam aspek legalitas lahan dan usahanya, SHM dan STDB. Belum lagi dari aspek lingkungan seperti larangan penanamaan sawit di sepadan sungai sungai dan perlindungan spesies yang dilindungi dan lain-lain yang menjadi bagian dalam upaya pemenuhan prinsip keberlanjutan. Jadi, kalau Pemerintah mau mengevaluasi atau mengaudit, harus menjangkau semua permasalahan yang ada”, tegas Darto.
Lebih lanjut, Darto mengatakan bahwa, dalam kaitannya dengan masalah kelangkaan minyak goreng, dan praktik penyimpangan dalam kegiatan ekspor yang dilakukan oleh korporasi besar, maka langkah audit ini tidak hanya menyasar pada aspek legalitas kepatuhan hukum semata, tetapi perhatian Pemerintah juga menjangkau pembenahan struktur pasar di industri sawit dari hulu hingga hilir.
“Pasca pencabutan aturan larangan sementara ekspor CPO oleh Bapak Presiden, seharusnya ada langkah untuk memperbaiki struktur pasar oligopoly di Industri hulu perkebunan kelapa sawit dan struktur pasar monopoli di sector hilir. Karena keadaan struktur pasar yang demikian telah menyingkirkan petani sawit sebagai pelaku rantai pasok dan penyingkiran petani atas tanah karena penguasaan tanah yang timpang sebagai dampak perluasan lahan yang melebihi ketentuan yang berlaku. Situasi yang terjadi selama ini banyak pabrik kelapa sawit tidak menerima TBS kelapa sawit produksi petani. Mereka lebih mengutamakan suplai TBS dari kebun inti”, tegas Darto.
Rencana Pemerintah untuk lakukan audit ini sesungguhnya bukan yang pertama kali direncanakan dan dilakukan.
“Sebelumnya, sudah ada instrument kebijakan Moratorium Sawit selama tiga (3) tahun yang tujuannya sama, untuk penundaan pemberian izin usaha perkebunan sawit sekaligus langkah evaluasi dan penegakan hukum, lalu ada upaya penguatan data sawit (seperti luas HGU, luas izin sawit dan realisasi pembangunan kebun minimal 20% untuk masyarakat), serta pendataan dan pemetaan kebun sawit sekaligus pengurusan legalitas lahan dan usaha untuk kebun sawit yang dikelola rakyat secara keseluruhan di wilayah sentra sawit. Kebijakan Moratorium Sawit juga menyasar pada upaya peningkatan produktivitas dan pembinaan kelembagaan pekebun, tegas Darto
Persoalannya selama ini belum ada tindakan nyata yang dilakukan di lapangan serta upaya penegakan hukum yang tegas, karena permasalahan di industry sawit selama ini belum menjadi prioritas sebelum permasalahan kelangkaan minyak goreng dan larangan ekspor CPO yang terjadi beberapa waktu belakangan, kata Darto.
Lebih lanjut, Darto mengatakan bahwa, pelaksanaan evaluasi izin, HGU dan realisasi 20% ini belum terlihat hasilnya, sejauh mana evaluasinya dan penegakan hukum yang dilakukan Pemerintah selama 3 tahun Moratorium berjalan. Dalam catatan kami, Moratorium Sawit belum berjalan maksimal, hingga aturan ini dicabut kembali. Demikian juga untuk pembenahan sawit rakyat dengan pemetaan lahan dan pengurusan legalitas lahan dan usaha (SHM dan STDB) serta peningkatan produktivitas, sama skali belum terlihat hasilnya. Padahal tujuan Moratorium Sawit ini merupakan mandat langsung yang diberikan oleh Presiden untuk seluruh Kementerian/Lembaga terkait di level Pusat dan kepada Pemerintah Provinsi hingga Kabupaten/Kota.
“Seharusnya yang dilakukan Pemerintah saat ini adalah pengawasan dan penegakan hukum. Evaluasi sudah dilakukan dalam kebijakan sebelumnya, artinya Pemerintah sudah memiliki data yang jelas dan lengkap terkait masalah izin, hgu, dan kebun seluas minimal 20% untuk masyarakat. Jangan sampai langkah untuk audit kembali hanya akan jadi wacana saja tanpa ada penegakan hukum yang tegas, hanya mengulang kembali langkah yang sudah ada sebelumnya, tegas Darto.
Lebih lanjut, Darto mengatakan bahwa, “Selain data yang dimiliki Pemerintah, aduan dari masyarakat sipil terkait masalah tumpang tindih perizinan dan HGU korporasi dengan lahan masyarakat adat/lokal dan petani sawit juga sudah banyak dilakukan selama proses Moratorium Sawit berjalan. Ini yang seharusnya perlu diakomodir dan diprioritaskan penyelesaiannya oleh Pemerintah untuk pembenahan industry sawit dan menjadi kewenangannya untuk melakukan penegakan hukum lebih lanjut”.
Pelaksanaan Moratorium Sawit yang dilakukan oleh Pemerintah Papua Barat bisa dijadikan contoh dalam upaya penegakan hukum serta pembenahan industry sawit Nasional. Tahun 2021, Pemerintah Papua Barat dan KPK melakukan evaluasi terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit. Setidaknya ada 12 perusahaan perkebunan sawit di Provinsi Papua Barat yang dicabut izinnya karena bermasalah, mulai dari pelanggaran legalitas atau administrasi perizinan misalnya kewajiban memiliki IUP dan IPK, serta tidak melakukan pelaporan perubahan kepemilikan saham dan kepengurusan, dan belum memperoleh HGU. Lalu ada pelanggaran operasional, seperti kewajiban pembangunan kebun inti dan realisasi pembangunan kebun plasma, melakukan penanaman di lahan gambut, tumpang tindih dengan Kawasan Hutan, dan melakukan penanaman melebihi IUP dan tanpa memiliki HGU. Selain itu banyak perusahaan yang juga melakukan praktik land bank.
“Selain proses penegakan hukum, langkah untuk melakukan evaluasi atau audit di sector sawit selalu dihadapkan pada persoalan laten yang menyangkut tumpang tindih/ketidakharmonisan berbagai aturan yang berlaku. Misalnya, dalam konteks fasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20%, masih menjadi perdebatan, terutama ketentuan tentang sumber lahan yang akan dibangun, dan tentu saja hal semacam ini terjadi pada aturan lainnya, seperti masalah penyelesaian kebun dalam kawasan hutan. Masalah tumpang tindih atuiran juga harus menjadi perhatian Pemerintah”, tegas Darto.
Kontak Media :
Sekretariat Nasional SPKS :
Tel: 0251-8571263
WA: 0822-7488-6619
Email:info.spksnasional@gmail.com
Website: www.spks.or.id