PALANGKARAYA – Sejak pemberlakuan ISPO per Maret 2011 sampai dengan Februari 2016, terdapat 225 sertifikat ISPO yang telah diberikan, dengan cakupan seluas 1.4 juta ha area (statusnya masih sama per Februari 2017), dan CPO yang tersertifikasi mencapai 5,9 juta ton per tahun. Penerbitan sertifikasi ISPO meningkat signifikan dalam rentang waktu satu tahun, Februari 2016-2017, yakni 290% dari rata-rata persentase penerbitan sertifikat ISPO per tahun sejak 2011.
Akan tetapi, ISPO belum memberikan perubahan berarti. Laju pemberian sertifikasi ISPO berbanding terbalik dengan perbaikan nyata tata kelola industri kelapa sawit dengan berlanjutnya persoalan-persoalan utama di antaranya, legalitas yang menyangkut izin Hak Guna Usaha (HGU) / Izin Usaha Perkebunan (IUP) di dalam kawasan hutan dalam kaitannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), terbitnya izin-izin melalui praktik-praktik non-prosedura, izin limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3), penanaman di sempadan sungai, penerapan kebijakan perlindungan ekosistem lahan gambut, perlindungan wilayah bernilai konservasi tinggi (HCV) dan wilayah bernilai stok karbon tinggi (HCS), minusnya keberpihakan kepada petani kecil, sehingga posisi tawarnya sebagai mitra kian lemah di hadapan industri sawit; dan gagalnya penyejahteraan dan pemenuhan hak-hak kedua kelompok tersebut. Terbitnya sertifikasi ISPO tidak serta merta dibarengi perbaikan tata kelola industri kelapa sawit. Hal ini kemudian mendapan respons dari Pemerintah Indonesia.
Momentum untuk pembenahan tata kelola sawit telah dibuka melalui pernyataan Presiden RI per tanggal 14 April 2016 yakni komitmen untuk menjalankan moratorium sawit (KSP, 2016). Harapannya momentum ini menjadi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk membenahi industri kelapa sawit Indonesia supaya mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan, menyejahterakan petani dan pekerja sawit serta lebih kompetitif.
Pada bulan Juni 2016, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk Tim Penguatan ISPO melalui Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 54 Tahun 2016 tentang Tim Penguatan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO Certification System) dengan kegiatan utama menyusun sistem ISPO yang memiliki kredibilitas lebih. Tujuan utama pembentukan tim tersebut adalah untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap sistem sertifikasi dan standardisasi industri kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. Sampai dengan akhir Desember 2016, Tim Penguatan ISPO telah menyelenggarakan serangkaian diskusi terbatas dengan para pemangku kepentingan untuk mendorong dan merumuskan fokus rancang ulang ISPO. Sejak Mei 2017, Tim Penguatan ISPO sudah memulai rangkaian konsultasi publik di lima kawasan. Konsultasi pertama yakni di region Sumatera dan yang kedua di region Kalimantan.
Guna berlangsungnya proses rancang ulang ISPO dan Peraturan Presiden tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Perpres ISPO), beberapa perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil dan Petani Kelapa Sawit di Region Kalimantan diantaranya Save Our Borneo (SOB), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), YBB, LINK-AR, Pokker (Kelompok Kerja) Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), SAMPAN, Kaharingan Institute, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA), Jaringan Independen Pemantau Kehutanan (JPIK), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, YCHI, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), JPIC, WWF Kalimantan Tengah, Kaoem Telapak dan Kemitraan, menekankan masukan-masukan tertulis diantaranya, pertama, penyelesaian masalah-masalah mendasar yang tertunda di sektor sawit.Rendahnya kepatuhan perusahaan penerima sertifikat terhadap aturan ISPO itu sendiri, dan praktis menunjukkan rendahnya kredibilitas dan akuntabilitas sistem ISPO di hadapan pasar nasional dan internasional.
Kedua, menyiapkan prakondisi, ketiga, perbaikan menyeluruh kriteria ISPO sebagai sebuah sistem sertifikasi. Keempat, sebagai sebuah sistem, ISPO sudah semestinya mempunyai komponen penilai dan penerbit sertifikat yang tidak berpihak dan terakreditasi serta memiliki mekanisme penyelesaian keluhan dengan prosedur yang jelas, jangka waktu penyelesaian terjadwal, adanya evaluasi berkala dan sifatnya terbuka bagi peluang pembenahan sistem secara berkala berdasarkan hasil evaluasi berkala
Lantas kelima, pemerintah sebagai regulator harus memastikan sistem ISPO berjalan dengan sesuai dengan prakondisi sistem, prinsip dan prasyarat-prasyarat ini, kelima, pembenahan jaminan hukum bagi petani, keenam, pengetatan Prinsip dan Kriteria ISPO, ketujuh, ISPO harus membuka ruang partisipasi bagi masyarakat adat, petani pekebun, masyarakat desa, buruh perkebunan serta dapat mengakomodasi hak-hak perempuan.
Kedelapan, standar ISPO harus lebih baik dari standar-standar perkebunan lainnya dengan tidak hanya berlandaskan pada norma internasional yang ada saja, melainkan juga kebijakan nasional. ISPO perlu menitikberatkan pada kepatuhan hukum sebagai upaya agar sistem ISPO menjadi satu instrumen yang mengacu bagi kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
“Serta kesembilan, kelembagaan Penyelenggara sertifikasi ISPO harus lebih bertanggungjawab, terbuka dan transparan sehingga hasil perkebunan berkelanjutan harus lebih nyata,” catat para civil society tersebut dalam rilis yang diterima InfoSAWIT. (T2)
Sumber :http://www.infosawit.com/news/6402/civil-society–ispo-jangan-jadi-sekadar-label-sawit-berkelanjutan