Siaran Pers

FGD SAWIT BERKELANJUTAN: Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel

PERS RELEASE/SIARAN PERS

Untuk Segera Diterbitkan

FGD SAWIT BERKELANJUTAN: DISKUSI SAWIT BAGI NEGERI VOL 8

 

Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel

Mengacu kepada Adam Smith, seorang ahli ekonomi, dalam Hukum Penawaran menjelaskan, adanya pengaruh pajak terhadap penawaran harga produk yang akan dibeli. Sebab, pada dasarnya, hukum penawaran terkait dengan harga produk, akan sejalan dengan prospek jumlah produknya.
Bagaimana dengan posisi tawar petani kelapa sawit?

Jika harga produk minyak sawit mentah (CPO) naik, maka jumlah produk yang ditawarkan juga meningkat. Namun, harga produk yang turun membuat jumlah barang yang tersedia juga akan turun, sehingga penawaran dan permintaan akan menemukan titik ekuilibrium yang baru. Penerapan Pajak dan Pungutan terhadap CPO juga akan menimbulkan efek samping bagi petani kelapa sawit, dimana posisi tawar yang rendah menyebabkan terjadinya distorsi harga jual TBS.

Sebagai informasi, regulasi Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) yang dibebankan pemerintah, dapat mengubah harga barang, sehingga berakibat kuantitas produk yang dikonsumsi akan menurun. Pengenaan pajak, akan menggerakan pasar ke ekuilibrium baru, dimana harga barang yang dibayar oleh pembeli meningkat dan harga yang diterima oleh penjual menurun.

Namun, pengenaan pajak tidak bergantung kepada pembeli atau penjual, lantaran pajak akan dibebankan sebagian besar kepada sisi pasar yang kurang elastis, karena memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk menanggapi pajak dengan mengubah jumlah yang dijual atau dibeli. Jelasnya, petani kelapa sawit menjadi sisi pasar yang kurang elastis, karena tidak memiliki kemampuan terhadap kondisi yang terjadi.

Sebagai informasi, pengenaan pajak dan pungutan tinggi akan produk CPO, secara langsung akan berdampak positif terhadap murahnya bahan baku bagi industri hilir, termasuk industri biodiesel. Namun, murahnya harga minyak sawit, tidak juga akan berdampak positif akan daya saing produk biodiesel, lantaran persaingan produk biodiesel, masuk dalam golongan minyak bahan bakar dari minyak bumi, yang sedang mengalami penurunan harga.

Persoalannya, dana PE yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), terlalu besar disalurkan kepada industri biodiesel, yang sudah mengeruk keuntungan dari murahnya harga bahan baku dan mendapat dana subsidi biodiesel yang sangat besar. Sedangkan petani kelapa sawit, kurang dilibatkan dalam penyediaan bahan bakunya.

Salah satu solusi dari karut marut ini, dapat dilakukan melalui terobosan regulasi pemerintah yang baru, guna mendekatkan peluang besar dari petani kelapa sawit untuk terlibat langsung dalam pasokan bahan baku biodiesel. Keterbukaan (transparancy) dan keterlacakan (traceability) dapat menjadi bagian didalamnya.

Caranya, produksi CPO hasil petani kelapa sawit langsung dilibatkan atau diwajibkan oleh pemerintah, untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel, dimana harga beli yang dikenakan, juga ditetapkan secara khusus antara petani sebagai produsen dan industri biodiesel, melalui perjanjian bisnis yang saling menguntungkan.

Jika pasokan buah dari petani kurang memenuhi kebutuhan pasokan, maka perlakuan yang sama dapat diberikan kepada perkebunan kelapa sawit nasional, sehingga perkebunan kelapa sawit nasional, baik petani maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit, secara nyata terlibat dalam pengadaan biodiesel dan menguntungkan petani serta pemerintah.

Melalui cara ini, maka keseimbangan hukum penawaran akan kembali menemukan titik keseimbangan terbaru, dimana pemerintah tidak bakal merugi besar, karena hanya menyubsidi industri biodiesel. Tapi, mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan sekaligus meningkatkan pendapatan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Secara etika, Pemerintah juga mampu menjalankan aturan dan prosedur yang menjadi kewajibannya sesuai moralitas (Rawls dan Hardin ; 1995), dimana sebagai institusi harus memiliki moralitas dan menjaga moral sebagai bagian dari konsekuensinya. Disinilah, peranan BPDPKS akan menjadi bagian dari kebijakan yang melindungi masyarakat luas, khususnya petani kelapa sawit.

Terlebih dikatakan Plt Kadiv Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKS, Sulthan Muhammad Yusa, sampai saat ini sektor perkebunan kelapa sawit terus berkembang kendati berada dalam masa pandemi covid19, bahkan dalam kajian yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, Universitas Jambi dan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Universitas Wageningen, perkebunan kelapa sawit

bisa menjawab isu Sustainable Development Goals (SDGs). Sebab itu pihak BPDPKS, akan terus berupaya mendorong perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Lantas, dengan dinamika pergerakan harga CPO dan minyak dunia saat direncanakan penyerapan biodiesel pada tahun 2021 mampu sebanyak 9,2 juta KL. “Diperkirakan kebutuhan dana insentif akan jauh lebih tinggi pada tahun 2021,” kata Yusa, dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 8, bertajuk “Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel,” Kamis (10/6/2021) yang diselenggarakan InfoSAWIT, di Jakarta.

Lebih lanjut kata Yusa, guna menjaga keberlanjutan program energi baru dan terbarukan (EBT) melalui Mandatori Biodiesel, Pemerintah juga telah menyesuaikan tarif Pungutan Ekspor melalui PMK 191/2020. Karena itu untuk kebutuhan Program Mandatori Biodiesel yang terus meningkat setiap tahun, perlu dibarengi dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel sawit dapat terpenuhi di masa mendatang.

BDPKS memproyeksi produksi CPO dan stok tahun 2021-2025 akan mencapai 52,30 Juta MT – 57,61 Juta MT, rata-rata naik sebesar 4% per tahun. Sementara kebutuhan Biodiesel untuk program B30 tahun 2021-2025 diperkirakan sebesar 8,34 Juta MT 9,66 Juta MT (8.85 Juta KL11.65 Juta KL) rata-rata naik sebesar 5% per tahun.

Dengan konsumsi domesti yang stagnan (minyak goreng dan produk oleokimia), Indonesia memerlukan produk hilir yang mampu menyerap stok CPO yang tinggi di tahun-tahun mendatang, yang saat ini dapat ditingkatkan yaitu penggunaan sawit sebagai Energi Baru Terbarukan.

Kedepan, tutur Yusa, pihaknya akan mendorong Palm Oil for Renewable Energy: Next Program, yakni melibatkan petani dalam rantai pasok biodiesel sawit. Selain pengembangan biodiesel dengan teknologi

Fatty Acid Methly Ester (FAME) juga sedang dikembangkan biodiesel berbasis hydrogenisasi atau kerap disebut biohidrokarbon, yang bisa menghasilkan green diesel, green gasoline, dan green fuel jet (Avtur).

Pengembangan ini akan melibatkan petani dan akan menggunakan teknologi yang bisa diimplementasikan dengan skala tidak besar dan menguntungkan petani kelapa sawit. “Kita perlu mendorong program yang bermanfaat bagi petani yang memang membutuhkan,” kata Yusa.

Saat ini pengembangan itu masuk dalam pogram Industrial Vegetable Oil (IVO), dimana pilot project yang dilakukan berada di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Program ini hasil kerjasama dengan Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), PT Kemurgi Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Elis Heviati mencatat, penerapan program mandatori biodiesel dilatarbelakangi Indonesia memiliki potensi produksi minyak sawit mentah (CPO) yang cukup besar yang mana di tahun 2020 produksinya telah mencapai 52 juta ton.

Lantas, upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional, selain itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena dari tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta ha sebanyak 40% dimiliiki pekebun sawit (petani sawit).

Besarnya defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor Bahan Bakar Minyak (BBM), serta upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan tercapainya stabilisasi harga CPO.

Lebih lanjut kata Elis Heviati, dalam grand strategi rencana energy nasional, di tahun 2030, pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi Bahan Bakar nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon.

Kedepan kata Elis, pemanfaatan biofuel tiak sebatas untuk biodiesel saja, dan tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, didorong yang berbasis kerakyatan, untuk spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Termasuk mendorong emanfaatan by product biodiesel, serta pemanfaatan hasil sawit non-CPO.

Model kesertaan petani dalam program mandatory biodiesel bisa berupa pengembangan Pabrik Minyak Nabati Industrial (IVO) dan Bensin Sawit dengan bahan baku dari TBS Sawit raykat. Dimana Biaya produksi lebih murah 15-20% dari PKS Konvensional, harga tandan buah segar lebih stabil (Tidak bermasalah dengan Free fattyAcid yang tinggi).

Lantas, kandungan metal dan chlorine rendah, Oil Extraction rate meningkat dari 18-22% menjadi 24-

36%. “Serta dapat dikelola oleh Koperasi/BUMD dan SNI IVO sudah terbit,” kata Elis Heviati.

Sementara Ricky Amukti dari Traction Energy Asia mengatakan, menempatkan pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel sangat dimungkinkan, terlebih Pekebun sawit mandiri menguasai

40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. “Namun mereka sama sekali tidak mendapat manfaat dari program biodiesel secara langsung selama ini,” kata Ricky.

Lebih lanjut kata dia, dengan memasukkan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok produksi biodiesel akan membantu meningkatkan kesejahteraan dan memberantas kemiskinan. Termasuk, mengurangi resiko deforestasi dan menjaga hutan alam yang tersisa dan menggunakan TBS kelapa sawit yang dihasilkan dari lahan pekebun sawit mandiri dapat mengurangi emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel.

Sampai saat ini kondisi rantai pasok TBS dari Petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bervariasi. Panjangnya rantai pasok TBS mengurangi keuntungan petani swadaya. “Dengan mandatroi biodiesel ini bisa menjadi momentum dalam upaya perbaikan rantai pasok dari petani,” kata Ricky.

Biasanya keengganan PKS menempatkan pekebun mandiri sebagai pemasok bahan baku (PKS) terkait karakteristik usahanya, dimana rata - rata, skala usaha pekebun mandiir masih terbatas (rata-rata luas lahan di bawah 3 ha dan modal kerja/usaha terbatas), pengelolaan/manajemen usaha tradisional, tingkat produktivitas rendah (volume panen TBS per 1 ha kurang dari 3 ton), mutu TBS rendah (tingkat rendemen di bawah 20%), dan Kinerja usaha kurang efisien (biaya produksi lebih tinggi terhadap pendapatan operasional.

Maka muncul hambatan eksternal yang dihadapi pekebun mandiri, yakni akses pasar terbatas dan Harga jual TBS tidak sebanding biaya pokok produksi. “Satu-satu solusi untuk menjamin kelangsungan usaha pekebun mandiri adalah dengan memberi jaminan pasar,” kata Ricky.

Sebab itu, pengadaan TBS dari Pekebun Mandiri yang dilakukan PKS sebaiknya dengan menempatkan Pekebun Mandiri sebagai pelaku rantai pasok CPO melalui Kerjasama Kemitraan berbasis karakteristik usaha, dimana kemitraan antara pekebun mandiri dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit/pabrik kelapa sawit adalah solusi untuk peningkatan kinerja dan skala usaha pekebun mandiri.

Setidaknya tutur Ricky, terdapat lima tujuan penyelenggaraan program kemitraan berbasisi karakteristik usaha, yakni pertama, memberikan jaminan pasar bagi TBS petani swadaya, kedua, memberikan akses petani swadaya untuk memperoleh bibit dan pupuk berkualitas, ketiga, memberikan bimbingan teknis peningkatan produksi TBS, keempat, memberikan bimbingan teknis peningkatan mutu TBS petani swadaya sesuai standar industry kelapa sawit dan keliman, memberikan bimbingan teknis pola usaha tani/berkebun yang baik dan berkelanjutan.

Diungkpakan Sekretaris Jenderal Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, dalam program madatori biodiesel sawit, terdapat 18 industri memperoleh jatah untuk penyedia biodiesel yang ditetapkan oleh ESDM, untuk menjalankan program B30. Namun, sayangnya tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani.

Untuk itu kata Darto, guna menunjang jalannya program tersebut, dilakukandengan menerapkan pungutan ekspor CPO didasarkan pada peraturan mentri keuangan (191 tahun 2020). Lantas, pungutan ini kemudian berdampak pada tergerusnya harga Sawit di tingkat pekebun serta mempengaruhi stabilitas bisnis sawit Indonesia khususnya perusahaan kecil dan menengah/BUMN. “Berasarka hitungan kami pungutan ekspor itu bisa menggerus harga TBS Sawit petani sekitar Rp 600/kg,” tutur Darto.

Merujuk riset yang dilakukan oleh SPKS, memperlihatkan perusahaan besar (yang mengontrol hulu dan juga hilir) dalam contoh kasus Wilmar memperoleh bahan baku dari 32 group perusahaan atau sebanyak

32 perusahaan, 4 di antara – nya perusahaan asing (3 Malaysia dan 1 srilangka).

“Ini yang membuat kami petani sangat tersinggung, kenapa program ini justru melibatkan pihak asing, bukannya dengan petani sawit yang memang ada di Indonesia dan menerapkan regulasi yang ditetapkan pemerintah, kenapa kami tidak dilibatkan langsung,” katanya.

Lebih lanjut tutur Darto, pihaknya melakukan tracking di lapangan, faktanya petani sawit swadaya tidak terhubung sama sekali dengan program mamdatori biodiesel, dalam radisu 5 Km saja disekitar wilayah produsen biodiesel petani swadaya tidak diperhatikan atau tidak diajak bermitra.


Lainnya

Perkembangan Harga TBS

Berita Harga TBS

Agenda

Agenda Lainnya

Link Terkait

Cerita Petani
Selengkapnya